Rabu, 29 Oktober 2008


Soetrisno Bachir (SB) memang masih malu-malu kucing menyatakan maju ke ajang Pilpres 2009. Namun, iklan, spanduk, dan baliho SB ada di mana-mana. Di spanduk dan baliho tersebut, wajah SB lebih dominan ketimbang logo Partai Amanat Nasional (PAN). Idealnya, seiring maraknya iklan, spanduk, dan baliho bergambar SB, popularitas dan tingkat keterpilihan (elektabilitas) terhadap juragan batik itu semakin meningkat. Tetapi, hasil pollingberbicara lain.

Penerus Amien Rais itu belum juga mampu menyodok papan tengah, apalagi papan atas capres yang akan dipilih rakyat. Hal itu terlihat di polling yang dilakukan Lembaga Survei Nasional (LSN) pada 20-27 September 2008. Sebanyak 400 responden berusia minimal 17 tahun dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan secara sistematis (systematic random sampling) dari buku telepon terbaru.

Mereka berdomisili di 15 kota besar di seluruh Indonesia (Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Mataram, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Manado, Ambon dan Jayapura). Nirpencuplikan (sampling error) lebih kurang 4,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil polling ini tentu tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat Indonesia.

Berdasarkan polling tersebut, pemilik slogan “Hidup Adalah Perbuatan” itu hanya dipilih oleh 0,8 persen responden dan harus puas berada di posisi ke-12. SB bahkan harus mengakui ketangguhan mantan Ketua Umum PAN Amien Rais yang berada di posisi ketujuh dengan dukungan 2,0 persen responden. Padahal, iklan SB lebih disukai publik ketimbang iklan Amien.

Setali tiga uang dengan SB, Rizal Mallarangeng yang dikenal lewat ikon RM09 juga tak mampu berbicara banyak di polling. Rizal berada di posisi ke-13 dengan tingkat elektabilitas sebanyak 0,5 persen. “Message (pesan) yang disampaikan Soetrisno Bachir dan Rizal Mallarangeng di iklan kurang mengena di hati dan pikiran publik,” ujar Direktur Eksekutif LSN Umar S Bakry kepada Indonesia Monitor, Kamis (9/10).

Kata Umar lagi, apa yang dialami SB dan Rizal berbeda dengan tingkat elektabilitas Prabowo Subianto yang berada di posisi ketiga dengan 14,2 persen dukungan responden. Menurut Umar, iklan Prabowo sangat manjur.

Sebanyak 79,9 persen publik mengaku suka terhadap iklan Prabowo yang mengandung pesan-pesan simpatik mewakili masyarakat petani, nelayan dan pedagang pasar tradisional. Sementara, yang menyukai iklan SB sebanyak 44,3 persen, SBY (44,0), Wiranto (39,4), Rizal Mallarangeng (31,3), Jusuf Kalla (24,6), Amien Rais (19,8), dan Yusril Ihza Mahendra (16,8). Orang dekat SB, Viva Yoga Mauladi mengatakan, survei itu sifatnya dinamis. Kata Yoga, dia tak heran popularitas dan elektabilitas SB kalah dari Amien Rais. “Karena Pak Amien itu kan rekam jejaknya sudah sangat panjang. SB kan serius di politik sejak menjabat sebagai Ketua Umum PAN,” ujar Yoga kepada Indonesia Monitor, Kamis (9/10). Wasekjen PAN itu menambahkan, partainya tidak berpatokan pada satu lembaga, karena lembaga survei satu dengan yang lainnya berbeda. “Survei itu merupakan vitamin buat PAN, karena penting buat mengukur siapa diri kita. Tapi jangan lupa survei itu dinamis dan selalu berubah,” ujarnya.(*)

Jumat, 10 Oktober 2008

Presidential contenders get professional touch

Straits Times - June 4, 2004

Devi Asmarani, Jakarta -- Professionals, not just politicians, are running the show for the election.

Presidential contenders have been relying on their team of political strategists, public relations consultants and advertising experts ahead of the July 5 election.

The candidates set up think-tanks for campaign strategies and seek professional advice to polish their public image. Pundits help formulate their platforms and senior journalists are hired to run their media centres.

The first-ever direct presidential election in Indonesia has prompted the five contenders to employ modern campaigning approaches to boost their popularity and win the ground.

Some campaign teams have sought help from more experienced ones abroad, collecting campaign formats of successful presidential candidates in countries such as the United States and the Philippines.

But of all the contenders, National Mandate Party chairman Amien Rais can proudly claim to be the pioneer in this new battle for the presidency.

Unlike others, who only began to seriously market themselves for the top post early this year, Dr Amien started the groundwork for the contest in 2001, when he established the Amien Rais Centre think-tank.

The centre at the time started formulating a design format for his 2004 presidential campaign, knowing that the allotted official 30-day campaigning session this month would not be sufficient to promote the National Assembly Speaker across the sprawling archipelago.

The centre's chairman, Mr Jeffrey Geovanie, told The Straits Times: "First thing we did was to make a standard portrait of [Dr] Amien so that everyone across the country will instantly recognise him when they see his picture." At the centre's suggestion, Dr Amien began making personal trips to various countries to meet influential figures there.

"We want him to actively clarify to the international community that he was not a fundamentalist as he had been misrepresented in the foreign media," Mr Geovanie said.

The institution monitors media and public perception on Dr Amien, and makes sure his public statements are consistent and centrist. He also started making overseas trips two years ago to participate in various cultural programmes.

It was also two years ago when he began what later become his trademark -- visiting wet markets. It was a move that incumbent President Megawati Sukarnoputri has seemingly emulated this week.

Mr Geovanie is not a member of Dr Amien's official campaigning team, which was established late last month, but some members of the Amien Rais Centre have joined the campaigning team.

Dr Amien's campaigning team is made up of political scientists Rizal Sukma and Irman Lanti, as well as renowned economists Didiek Rachbini and Dradjat Wibowo.

Similarly, the incumbent President's think-tank, the Mega Centre, comprises academics such as Mr Cornelis Ley, her long-time political adviser, historian Hermawan Sulistyo and economist Sri Adiningsih, as well as several Cabinet ministers.

The Mega Centre monitors public opinion polls, advises Ms Megawati on campaign strategies and formulates political and economic platforms.

Leading contender Susilo Bambang Yudhoyono has his own SBY Information Centre. Named after his initials, the centre groups people from various backgrounds, such as law and communication. Former journalist Syahrial Nasution is one of them.

"It is basically an SBY fan club and we are all volunteers because of our personal relations with him," Mr Syahrial, the centre's managing executive, told The Straits Times.

The Wiranto camp has also hired senior journalists to run its Wiranto Media Centre, which is one of the most efficient of all the think-tanks. The centre has been quick in sending out information and organising press briefings.

Political campaign management may have yet to become an industry in Indonesia, as in other more developed democracies, but Mr Geovanie said it would soon become a norm as the country adopts a new set of electoral systems.

"Right now, professionals join the presidential contenders' team out of personal sympathy or political connection. But in the future, when even governors or regents will be elected directly by the people, it is natural that there will be demand for professional services for campaign management," he said.

Strategists: Men behind candidates

Susilo Bambang Yudhoyono

  • Sukosudarso: PDI-P politician who crossed over to support Mr Bambang's bid.
  • Rachmat Witoelar: A Golkar founder, former ambassador to Russia.
  • Joyo Winoto: Former official at the National Development Planning Agency.

Wiranto

  • Fachrul Razi and Suaidi Marasabessy: Retired generals.
  • Rizal Ramly: Economic czar in Abdurrahman Wahid's Cabinet.

Megawati Sukarnoputri

  • Cornelis Ley: Political strategist.
  • Sri Adiningsih and Anggito Abimanyu: Economic advisers.

Amien Rais

  • Rizal Sukma: Political strategist.
  • Dradjat Wibowo and Didiek Rahbini: Economic advisers.

Hamzah Haz

  • La Ode Kamalludin: Adviser to Vice-President Hamzah Haz.(*)

Suko Sudarso: Tidak Logis Saya Bertemu Adelin Lis di Cikeas

Sabtu, 22/12/2007 19:31 WIB

Luhur Hertanto - detikNews

Jakarta
- Suko Sudarso membantah tudingan Gus Dur bahwa ia pernah menerima Adelin Lis di kediaman pribadi Presiden SBY. Ia bahkan sama sekali tidak mengenal bekas terdakwa kasus pembalakan liar dan buronan kasus pencucian uang itu.

Bantahan di atas disampaikan Syahrial Nasution --anak angkat Suko Sudarso-- kepada detikcom dalam pembicaraan telepon, Sabtu (22/12/2007) petang.

"Logikanya saja, apakah mungkin saya bisa meminjam rumah Pak SBY yang presiden itu? Saya sendiri tidak mengenal Adelin Lis, kok bisa-bisanya ada pertemuan dengan dia. Jadi secara logika tidak mungkin saya mengadakan pertemuan dengan Adelin Lis, apa lagi pertemuannya di Cikeas," ujar Syahrial mengutip pernyataan Suko yang dipercayakan padanya untuk disampaikan menjawab konfirmasi wartawan.

Syahrial mengakui bahwa ia dan Suko Sudarso pernah aktif dalam tim sukses SBY saat pilpres 2004. Bersama Choirul Anam (eks. Ketua DPW PKB Jatim, kini Ketum DPP PKNU) dan Syaifulloh Yusuf (mantan Sekjen PKB, kini komisaris BRI), tugas mereka berempat kala itu mengadakan pendekatan ke para kyai khos di daerah Tapal Kuda (Banyuwangi, Situbondo dan sekitar) yang merupakan kantong NU.

Menurut Syahrial hubungan politik antara Suko Sudarso dengan SBY tidak berlanjut ke jenjang yang lebih jauh. Meski demikian hubungan secara pribadi antara keduanya tetap berlangsung baik.

"Hubungan pribadi masih baik. Tetapi untuk urusan politik, masing-masing punya
pilihan sendiri," ujarnya tanpa bersedia menjelaskan penyebab putusnya kongsi Suko Sudarso-SBY.

Nama Suko Sudarso mulai muncul di media massa terkait keterlibatannya dalam korupsi kasus Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bulog (Yanatera) pada 2000 silam. Kasus yang kemudia di kenal dengan sebutan Buloggate itulah yang menggulingkan Gus Dur dari kursi RI 1 pada 2001.
(lh/bal)

Pembantu Lama Juga Berpikir Untuk Tinggalkan SBY

REAKSI tak puas juga diperlihatkan kelompok yang selama ini mendampingi SBY. Kita sebut mereka dengan istilah kelompok pembantu lama. Seperti PKS, mereka juga mempertimbangkan akan mengundurkan diri dari Cikeas. Pengunduran diri itu akan dilakukan dalam waktu dekat.

“Kami khawatir kabinet yang akan terbentuk nanti tidak akan mencerminkan semangat perubahan yang dinanti-nanti rakyat. Mengapa klik yang selama ini menjadi masalah bagi bangsa kita sampai dipertimbangkan. Dalam beberapa hari ini kami akan pamit,” kata Ketua Media Center SBY-JK, Syahrial Nasution, tadi malam.

Menurut Syahrial, anggota kelompok lainnya yang juga tengah mempertimbangkan langkah pengunduran diri adalah Suko Sudarso, Rachmat Witolear, M. Djali Yusuf dan Agus Tagor.

Syahrial bercerita, Jumat malam lalu sekitar pukul 23.00 WIB, dirinya dan Suko bertemu dengan SBY. Dalam pertemuan itu, SBY kembali menegaskan dirinya yang akan menentukan menteri di kabinet. “Saya tidak bisa didikte siapapun. Soal nama dan posisi adalah keputusan presiden,” kata SBY saat itu seperti ditirukan Syahrial.

“Meski SBY punya kemampuan di atas rata-rata, toh sebagai manusia tetap bisa salah. Oleh karena itu SBY perlu forum dimana orang-orang yang tidak punya pamrih dan selama ini dekat dengan dia, seperti Suko Sudarso dan Rachmat Witoelar, diajak bicara,” ujar Syahrial lagi.

Dari dalam Cikeas terdengar kabar betapa panasnya suhu politik sepanjang hari kemarin. Kehadiran bekas Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang pernah ikut Konvensi Capres Golkar awal tahun lalu, Aburizal Bakrie dan pengusaha Rachmat Gobel mengagetkan sementara kalangan di Cikeas.

Mereka menduga, keputusan SBY untuk mempertimbangkan Aburizal merupakan bagian dari manuver politik yang dilancarkan “klik Golkar” di sekitar SBY.

“Skenario ini memang disusun oleh mereka untuk menguasai pemerintahan dan parlemen. Setelah ini mereka akan mendudukkan orang mereka, yang juga pernah ikut Konvensi Golkar sebagai Ketua Umum Golkar dalam Munas mendatang. Ini skenario jangka panjang untuk menguasai parlemen, Golkar dan berhadapan dengan SBY,” kata sumber lain di Cikeas.

Seorang anggota Paspampres juga disebutkan kaget saat sebuah mobil berhenti di depan kediaman SBY. Sebab, yang keluar dari mobil adalah seorang pengusaha yang selama ini, menurut si Paspampres, menjelang Pilpres 2004 sering nongkrong di Teuku Umar, kediaman Megawati. “Kami juga punya banyak bukti bahwa dia (pengusaha itu, red) dekat dengan Teuku Umar,” ujar sumber itu lagi.

Bekas Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Mayjen (pur) Syamsir Siregar yang juga dikenal sebagai pembantu lama SBY, tak mau berkomentar panjang soal perasaannya menyusul pemanggilan calon menteri SBY. Beberapa hari lalu Syamsir mengatakan bahwa kini banyak maling yang merapat ke SBY. “Hubungi saja teman yang lain. Saya tak bisa berkomentar,” katanya saat dihubungi tadi malam.

Dari luar pagar Cikeas, anggota Fraksi PAN di DPR Dradjad H Wibowo mengatakan, langkah SBY mengangkat ekonom Mari Pangestu sebagai menteri merupakan kesalahan besar. Dia menyebut paham neoklasik yang diyakini Mari sangat berbahaya bagi pembangunan Indonesia. Paham neoklasik ini percaya pada liberalisasi dan sangat pro pada terapi ekonomi Internasional Monetary Fund (IMF), yang terbukti malah memperburuk krisis ekonomi.

Aliran neoklasik juga sangat percaya pada privatisasi, dan selalu mengambil keputusan mencabut subsidi pada rakyat bila pemerintah mengalami kesulitan fiskal.

“Industri yang tidak bisa bersaing seperti PT Dirgantara cenderung akan ditutup atau diprivatisasi,” ekonom Institute for Development on Economics and Finance (Indef) ini saat dihubungi tadi malam.

Dradjad juga mengeluarkan ancaman. Katanya, jika Mari sampai ditunjuk sebagai menteri ekonomi, dirinya dan beberapa anggota DPR akan menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang akan dibuat ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) itu. GUH/IMI Rakyat Merdeka, 17 Oktober 2004

Rabu, 17 September 2008

Taktik Usang Politik Uang

Image










Biasanya, pagi hari jelang pencoblosan, kader-kader partai politik gemar melakukan serangan fajar ke rumah-rumah penduduk. Tujuannya, agar pemilik rumah yang didatangi kader parpol sudi mencoblos partai bersangkutan dengan imbalan materi.

Namun, jangan harap jurus seperti itu akan laku lagi dalam Pemilu 2009. Sebab, kini para pemilih tak lagi mempertimbangkan faktor imbalan materi dalam memilih satu parpol.

Imam (27 tahun), warga Cileduk, Tangerang, Banten, mengaku kapok memilih sebuah partai dengan imbalan uang Rp 50 ribu. “Ternyata, setelah partai itu menang, keadaan nggak juga berubah. Nyesel saya menjual suara dengan uang lima puluh ribu,” ujar Imam.

Imam tak sendirian. Setidaknya, masih banyak lagi rakyat yang tak ingin terjerat politik uang. Setidaknya, hal itu tergambar dalam survei yang digelar Reform Institute pada Juni-Juli 2008. Sebanyak 2.159 responden ditanya tentang pertimbangan mereka saat memilih partai politik


Hasilnya, sebanyak 25,8 persen responden menjawab memilih partai setelah mempertimbangkan programnya. Sementara, yang memilih partai karena pertimbangan mendapat imbalan materi hanya 1,0 persen responden.


Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay mengaku gembira dengan hasil survei tersebut. “Artinya, tingkat kesadaran masyarakat sudah semakin tinggi,” ujar Hadar kepada Indonesia Monitor, Sabtu (30/8).

Masalahnya, kata Hadar, selama ini masyarakat seringkali berpikir pragmatis. “Masyarakat kita masih sangat polos dan sederhana. Ketika sudah menerima uang dari salah satu partai atau elite maka mereka pasti akan memilih.”

Hal senada dikatakan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow. Menurut Jeirry, betul bahwa kesadaran politik rakyat sudah meningkat ketimbang pemilu-pemilu sebelumnya.

Namun, masyarakat yang menerima materi atau imbalan dari partai atau elite politik tetapi tidak akan memilih elite atau partai politik yang bersangkutan juga ada.
“Misalnya, ada lima calon atau partai yang memberinya materi, maka semuanya akan diterima, tapi tidak menjamin masyarakat akan memilih partai atau calon tersebut,” ujar Jeirry.

Ke depan, Jeirry berharap pengaruh uang dalam menentukan pilihan semakin kecil. “Masyarakat kita memang sangat pragmatis tapi juga sangat menginginkan perubahan. Mereka tentunya ingin memilih partai atau calon sesuai dengan hatinya. Dengan harapan akan terjadi perubahan lebih baik,” ujarnya.

Yang terpenting, perubahan perilaku elite politiklah yang sebenarnya diharapkan. Jangan sampai mereka terus menganggap suara rakyat bisa dibeli dengan uang. Kalau itu yang terjadi, para elite politik sama saja telah menghina rakyat sendiri.(Indonesia Monitor)

Kamis, 11 September 2008

Para Pejabat Anggap Ayin Seperti Virus Burhanudin: Keadilan Cuma Ada di Akhirat

Catatan: Syahrial Nasution

90 Menit Bersama Ayin dan Burhanudin di Tahanan Mabes Polri

Menikmati hidup di sebuah ruang sempit dan pengap berukuran tak lebih dari 2x3 meter barangkali tak pernah terlintas dalam benak Artalyta Suryani atau akrab disapa Ayin. Pengusaha wanita asal Lampung yang belakangan menjadi pusat pemberitaan di tanah air ini berusaha untuk tetap memperlihatkan wajah tegar ketika Indonesia Monitor menjenguknya di ruang tahanan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim), Mabes Polri, Jumat (29/8) pekan lalu.

Tanda waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB. Mengenakan t-shirt putih dipadu celana panjang abu-abu, Ayin menyodorkan sebuah kursi plastik merah tepat di depan pintu kamar tahanannya. "Silakan duduk di sini ya. Beginilah keadaan di sini, duduk seenaknya saja. Apa kabar," katanya membuka pembicaraan. Saya jawab dengan nada agak pelan,"kabar baik." Saya masih belum percaya, kalau wanita yang saya kenal sejak sekitar lima tahun lalu tersebut harus melewati aktivitas kehidupannya dari balik jeruji besi.

Di kalangan jet-set di Jakarta, apalagi di Lampung, nama Ayin begitu tersohor. Selain punya hubungan khusus dengan konglomerat Sjamsul Nursalim, yang diduga ikut mengemplang duit Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Ayin memang sudah lebih dulu dikenal sukses dengan berbagai kegiatan bisnisnya. Dan kedekatannya dengan sejumlah petinggi negeri ini menjadi poin tersendiri sehingga membuat sosok yang selalu tampil modis itu kerap disegani kawan maupun lawan bisnis.

Namun, sejak awal Maret lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah telah menghancurkan reputasi wanita berperawakan kecil tersebut. Setelah KPK menggerebek praktik dugaan suap sejumlah 660 ribu dolar AS yang dilakukan Ayin terhadap jaksa Urip Tri Gunawan (salah seorang jaksa kasus BLBI yang menangani perkara Sjamsul Nursalim), nama Ayin bak virus yang harus dihindari. Sejumlah kalangan pejabat negara yang kerap berhubungan dengan Ayin mengaku tidak lagi mengenal sosok yang namanya sempat tercantum sebagai bendahara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut. "Kalau mereka tidak bersedia membantu meringankan persoalan saya, tidak masalah. Semua yang saya alami ini adalah risiko. Tapi janganlah mereka membuat saya menjadi sakit hati," paparnya ketika ditanya soal sejumlah pejabat yang kerap berhubungan dengan Ayin.

Apa yang membuat Ayin sakit hati? Menurutnya, pengingkaran terhadap sebuah persahabatan akan terus tercatat dan tidak mungkin bisa dilupakan. Karena, hal itu berarti pengkhianatan. Dia menyebutkan nama seorang pejabat tinggi negara di kawasan Senayan. "Asal Anda tahu, sebelum suaminya menjabat (Ayin menyebut nama sebuah lembaga tinggi negara) istrinya setiap pagi telepon saya. Ada saja yang dia butuhkan dari saya supaya suaminya bisa mendapatkan jabatan tersebut. Setelah saya dalam kesulitan, kok bisa-bisanya dia bilang tidak kenal saya dan berkomentar yang sangat menyakitkan soal diri saya. Seolah-olah dia itu manusia paling suci di negara ini," tandasnya.

Pengakuan Ayin ini, hanya satu dari sekian banyak contoh pejabat yang buang badan ketika dirinya ketiban sial. Sederet nama penting rupanya cukup banyak yang bersandar pada kekuatan logistik Ayin untuk memperlancar karier para pejabat tersebut. Cukup mencengangkan memang, hampir di tiap lembaga berpengaruh seperti Polri, Kejaksaan Agung, TNI, DPR dan sederet posisi penting lainnya, bahkan salah satu petinggi KPK pun ternyata punya hubungan yang khusus dengan Ayin. Lantas, kenapa Anda mendapatkan vonis yang maksimal? "Itu di luar kemampuan saya untuk menganalisanya," timpal Ayin.

Disinggung soal beredarnya foto-foto dirinya dengan sejumlah petinggi negara saat ini seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Sutanto, Ayin merasa hal itu sebagai suatu hal yang biasa. Kehadiran mereka, menurut Ayin, tentu atas undangan dirinya dan keluarga. Sebab, foto-foto tersebut diambil saat berlangsungnya acara resepsi pernikahan anaknya. Suatu kebanggan jika pejabat negara bisa hadir untuk mengucapkan doa restu kepada mempelai yang sedang berbahagia. "Apakah dengan foto-foto tersebut lantas bisa dikatakan saya menguasai mereka," tanya Ayin.

Sambil sesekali membenarkan posisi rambut yang terurai, tampak sekali wajahnya memendam perasaan kesal dan sedih atas kondisi yang dialami saat ini. Namun, Ayin merasa dirinya hanya sedang ketiban sial dan siap menempuh langkah hukum selanjutnya untuk membela diri dan mendapatkan keringanan hukuman. "Yang pasti, saya tidak pernah menggelapkan uang negara dan bukan juga seorang koruptor," tandasnya.

Setelah hampir tiga perempat jam mengunjungi sel Ayin, Indonesia Monitor juga berkesempatan berbincang dengan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanudin Abdullah. Jarak antara sel tempat penahanan Ayin dengan Burhan, hanya terpisah beberapa blok. Kala itu, Burhan tengah menerima kunjungan beberapa kerabatnya. Namun, mereka segera memohon diri ketika saya menghampiri insinyur lulusan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung tersebut. Mengenakan kemeja hitam lengan panjang dan bercelana jeans warna gelap Burhan yang sejak usai Shalat Jumat merasa lebih nyaman berada di luar kamar selnya.

"Waktu saya habis di sini sudah lima bulan untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Padahal, jika di luar (penjara) saya bisa berbuat lebih banyak untuk negeri ini. Jika saya harus menanggung ini (kasus aliran dana BI kepada DPR –red) seharusnya bisa dilihat secara utuh. Sebab, yang saya lakukan tidak ada untuk kepentingan pribadi ," kata lelaki asal Garut, Jawa Barat tersebut mencoba membuka pembicaraan.

Lain Ayin, lain pula Burhan. Jika Ayin memang tipikal pengusaha yang kerap berbicara segala hal berdasarkan persepsi untung-rugi, Burhan yang birokrat tulen justru menilai segala sesuatu berdasarkan kinerja. Dengan posisinya yang sudah sampai di puncak karier sebagai mantan Menteri Koordinator Perekonomian di penghujung pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan mantan Gubernur BI sekitar empat bulan lalu, pikirannya tetap tak bisa lepas dari kondisi bangsa yang menurutnya dalam keadaan tidak menentu. Pidato kenegaraan yang dibacakan Presiden SBY di hadapan anggota DPR menjelang hari kemerdekaan ke- 63 RI Agustus lalu, dinilainya hanya berbasis politik. Mantan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ini sepakat jika Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang disusun tim ekonomi SBY mencapai Rp 1.400 triliun tidak lebih dari sekadar jargon alias kampanye.

"Tidak berbasis kinerja dan tidak strategis. Bagaimana pencapaian-pencapaian kebijakan ekonomi tersebut dapat dilakukan jika tidak ada hal-hal yang menjadi skala prioritas. Kalau semua persoalan ekonomi rakyat menjadi prioritas, itu kan sudah bukan lagi pertimbangan ekonomi," paparnya.

Sesekali, Burhan melepas kaca matanya, mengusap dahi dan kedua matanya dengan ibu jari dan telunjuk. Kepada Indonesia Monitor Burhan merasa dirinya bisa berbuat lebih banyak dari sekadar bintang tanda jasa Mahaputra yang sempat diterimanya dari negara beberapa waktu lalu. Dia mengaku sempat kesal atas apa yang dialami saat ini karena sepertinya tidak sebanding dengan apa yang sempat dia sumbangkan buat negara.

"Tapi, saya memang harus belajar ikhlas di sini (penjara- red). Saya juga sampaikan kepada teman-teman di dalam tahanan bahwa Allah SWT menciptakan kehidupan di dunia ini memang untuk tidak fair. Sehingga, meskipun kita benar, pengadilan manusia bisa saja membalikkan diri kita menjadi orang yang paling bersalah. Namun, keadilan sesungguhnya akan datang nanti di Padang Makhsyar (akhirat- red). Sayangnya, di sana nanti tidak ada wartawan sehingga tidak bisa diberitakan siapa yang benar dan salah ha…ha…ha..," katanya menghibur diri.

Di singgung soal besan Presiden SBY, Aulia Pohan, yang sampai saat ini masih bebas menghirup udara segar di luar penjara, Burhan hanya menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya tanpa beban. Menurutnya, dalam perkara aliran dana BI kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, seolah-olah sudah di frame (batasi) bahwa persoalan ini akan berhenti sampai dirinya. Meski fakta-fakta persidangan menunjukkan sejumlah pejabat tinggi BI lainnya, termasuk Aulia, masuk dalam kategori yang paling bertanggung jawab dalam perkara tersebut, mereka tidak akan tersentuh.

"Pernah satu kali dalam pertemuan di Pengadilan Tipikor saat Pak Aulia menjadi saksi, dia katakan bahwa akan sekuat tenaga menghindar supaya tidak secara formal dinyatakan terlibat. Meskipun media dan fakta-fakta menyatakan dirinya ikut bersalah. Pendeknya, yang penting jangan sampai KPK menetapkan dia menjadi tersangka," ungkap Burhan.

Anda kecewa? "Kecewa atau tidak saya kira tidak penting lagi. Karena saya harus menempuh ini semua dan akan membuktikan bahwa secara hukum saya tidak bersalah. Bahwa saya harus bertanggung jawab, inilah yang sedang saya lakukan," tandasnya.

Lantas, saat ditanya apakah sebagai pejabat tinggi negara ketika belum menghuni penjara tidak melakukan lobi tingkat tinggi kepada presiden atau wakil presiden, Burhan terdiam sejenak. Dia lantas menceritakan sebuah kisah di hari Jumat, saat dirinya sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun belum dipenjara, Gubernur BI diundang sarapan oleh Presiden SBY untuk membicarakan dampak ekonomi akibat kenaikan harga minyak. Dalam pertemuan tersebut Boediono yang saat itu masih menjabat Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan Sri Mulyani serta Mensekab Sudi Silalahi juga ikut hadir. Dalam pertemuan tersebut, semua berjalan lancar meski di hati Burhan sedang berkecamuk persoalan nasibnya yang sedang berada di ujung tanduk KPK.

Pertemuan kurang lebih satu jam tersebut dinilai Presiden SBY sangat memuaskan. Dan akan dibawa dalam sidang kabinet paripurna usai agenda sarapan antara Presiden SBY dengan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Karena Burhan bukan anggota kabinet, tentu saja dia tidak ikut agenda tersebut. Saat bersalaman usai pertemuan, SBY seperti sedang tidak tahu apa yang sedang dialami koleganya tersebut. Dengan santai dan tawa sumringah SBY meminta supaya bisa diaturkan waktu bermain golf dengan Burhan karena sudah lama keduanya tidak jalan bareng. "Saya tidak tahu apakah presiden sedang bercanda atau serius," ujarnya menghela napas panjang.

Banyak hal lainnya yang sempat dibicarakan dengan Burhan. Namun, rasanya tidak pas jika harus dibuka semua kepada publik. Tepat pukul 15.00 WIB terdengar bunyi lonceng dari pos penjagaan menandakan waktu bezuk sudah selesai. Sejenak bibir Burhan terkatup dan untuk selanjutnya dia hanya berujar, "Tongkat estafet masa depan negeri ini sudah saatnya berada di tangan generasi Anda. Kami-kami ini sudah saatnya melepaskan diri. Dan saya sudah siap untuk itu dan memberikan dukungan sekuat tenaga dari belakang," katanya.(*)

Senin, 08 September 2008

Kisah Menteri dan Ani Tukang Jamu

Andai kata yang pernah terucap bisa ditarik kembali, mungkin Taufiq Effendi akan melakukannya. Namun, nasi sudah menjadi bubur, hingga ia harus merasakan sentilan istri presiden.

Ibu Ani SBY dan Mbok Jamu

Ibu Ani SBY dan Mbok Jamu

Saat memberikan pembekalan kepada pengurus dan anggota DPR dari Partai Demokrat (PD) se-Indonesia di Hotel Sahid, Jakarta, Menneg PAN Taufiq Effendi tampak begitu kesal. Sebab, beberapa kali arahannya ditentang oleh salah seorang peserta. Berulang kali peserta yang juga pengurus DPP PD tersebut menyela dengan mengatakan, “Atas petunjuk Ibu Ani melalui SMS yang kami terima….”


Mungkin, pengurus DPP PD tersebut rajin ber-SMS ria dengan Ani Yudhoyono, meski setelah SBY jadi presiden, Ani sudah tak lagi menjabat Wakil Ketua Umum PD. Entah kenapa, saat peserta tersebut kembali “menginterupsi”, Taufik lantas keceplosan, “Ani mana? Ani tukang jamu atau Ani gado-gado?” Ucapan spontan tersebut sempat membuat geeer forum pembekalan. Maklum, meski Taufiq memiliki selera humor tinggi, namun lontaran ‘nakal’ itu sama sekali tak diduga peserta pembekalan. “Sys NS dan Max Sopacua yang hadir dalam acara tersebut pun dibuat terpingkal-pingkal,” ujar sumber Indonesia Monitor.

Tapi, banyolan Taufiq membawa sial. Tanpa diketahui olehnya, acara tersebut ternyata direkam. Parahnya, rekaman tersebut sampai ke Ani. Menurut sumber, Ibu Negara marah bukan kepalang. Tak kurang dari hitungan jam, SBY lantas menelepon Taufiq. Menurut sumber, SBY mengancam akan mencopot Taufiq sebagai Menneg PAN karena dinilai tidak beretika. Bahkan, sejak kejadian tersebut, hampir enam bulan SBY tidak menyapa Taufiq dan menolak menerima Taufik yang ingin menghadap meski untuk urusan dinas.

Makanya, menjelang reshuffle jilid 1, nama Taufiq santer sekali terdengar akan terlempar dari kabinet. Namun, menurut sumber, Vence Rumangkang menyelamatkannya. Salah satu pendiri PD itu berjuang dengan melobi orang-rang sekitar SBY dan berhasil mengamankan pensiunan polisi bintang satu tersebut.
Namun, ketika dikonfirmasi, Vence membantah pernah menyelamatkan Taufiq dari reshuffle kabinet. “Oh, nggak kok. Nggak benar itu. Saya nggak pernah berhubungan dengan Pak Taufiq soal reshuffle. Bukan saya itu,” ujar Vence kepada Indonesia Monitor, Jumat (1/8) pekan lalu.

Vence juga enggan dimintai komentarnya soal sosok Ani Yudhoyono. Ia mengaku tidak mau mengomentari orang karena hal itu sensitif. “Apalagi, sekarang saya nggak di Partai Demokrat. Kalau ngomong soal Ibu Ani, nanti saya ditelepon dan dimarahi Ibu Ani. Saya sekarang takut ngomongin orang, apalagi Ibu Ani,” ujar Vence yang sekeluarnya dari Partai Demokrat langsung mendirikan Partai Barisan Nasional (Barnas). Di situ, ia duduk sebagai ketua umum. Sementara, Sys Ns yang disebut-sebut hadir dalam acara itu mengaku pernah juga mendengar kisah ‘menteri dan Ani tukang jamu’ itu dari teman-temannya di PD. Namun, ia membantah jika ikut hadir di acara tersebut. “Nggak, saya nggak ada di situ,” ujarnya kepada Indonesia Monitor, Sabtu (2/8) pekan lalu.

Menurut Bahauddin Thonti, salah satu pendiri Partai Demokrat, sebenarnya tak hanya Ani yang begitu superior di lingkaran presiden. Ada satu lagi yang begitu berpengaruh terhadap SBY, yaitu ibu mertua. Thonti mengisahkan, saat acara peringatan haul R Soekotjo (ayah SBY), di Pacitan, tahun 2001, ia ikut datang. Hj Sunarti Sri Hadiyah, ibu mertua SBY, juga ada di situ. Saat itu, SBY sedang makan di ruang keluarga, kebetulan Thonti berada di ruangan tersebut. Tak jauh dari tempat SBY duduk, masih di ruangan itu, ada ibu mertua SBY sedang duduk-duduk sambil istirahat. Tiba-tiba, janda mendiang Sarwo Edhie Wibowo itu memanggil SBY, “Mas Bambang…”
Belum sampai selesai Hj Sunarti mengucapkan kalimat lanjutan, SBY langsung beranjak dari tempat duduknya. Piring yang ada di tangannya langsung diletakan di atas menja. “Dalem, Bu,” ujar SBY sambil menghampiri ibu mertuanya.

“SBY terlihat begitu ketakutan terhadap mertuanya. Saat sang mertua memanggil namanya, SBY begitu terburu-buru. Padahal, ia sedang makan,” ujar Thonti.

Namun, menurut Wakil Ketua Umum DPP PD Ahmad Mubarok, SBY tidak pernah disetir oleh siapapun, termasuk oleh Ani atau ibu mertuanya. “Saya pernah melihat sendiri secara langsung ketika Pak SBY menyuruh Ibu Ani untuk tidak ikut campur dalam satu masalah. Pak SBY bilang, ‘Ibu, yang seperti ini Ibu nggak usah ikut’,” ujar Ahmad Mubarok, menirukan ucapan SBY.

Moh Anshari, Sri Widodo
Sumber: Tabloid Indonesia Monitor
Edisi 6 Tahun I/6-12 Agustus 2008

Jumat, 18 Juli 2008

Aroma Selingkuh di Cipaku


Senin (2/6) petang, mobil Volvo hitam berpelat B 2670 BS meluncur cepat ke halaman kantor Menko Polhukam di Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Belum sempat berhenti benar, pintu belakang terbuka. Sang penumpang, Presiden SBY, bergegas keluar dan langsung masuk ke ruang utama, meninggalkan ajudan yang pontang-panting menguntitnya.

Mengenakan safari abu-abu lengan panjang dan celana hitam, raut muka SBY terlihat tegang. Dia hanya mengembangkan senyum kecil ketika masuk ruang rapat dan mempersilakan peserta rapat yang sudah lama menunggu untuk kembali duduk. “Kita mulai saja,” ujarnya sambil membuka-buka buku agenda.

Rapat koordinasi terbatas bidang Polhukam yang digelar mendadak pukul 17.20 WIB itu diagendakan membahas kasus tindak kekerasan yang dilakukan Komando Laskar Islam terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AK-KBB) di Monas, sehari sebelumnya.

Hadir dalam rapat itu Menko Polhukan Widodo AS, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, Kapolri Jenderal Sutanto, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kepala BIN Syamsir Siregar, Menhan Juwono Sudarsono, Mensesneg Hatta Rajasa, Menlu Hassan Wirajuda, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Menseskab Sudi Silalahi, serta dua Jubir Presiden, Andi Mallarangeng dan Dino Patti Djalal. Hadir pula Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Adang Firman.

Sebelum rapat berakhir pukul 19.10 WIB, terjadi perdebatan sengit membahas tindak kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya puluhan korban luka berat dari massa AK-KBB. Kapolri, Panglima TNI, dan Kepala BIN memaparkan argumennya masing-masing, disusul Menteri Hukum dan HAM. SBY terlihat belum puas dengan argumen yang dilontarkan oleh para pembantunya itu.

Ketika perdebatan tak berujung pada kata sepakat, suasana rapat semakin memanas. Ruangan utama kantor Polhukam yang biasanya sejuk, petang itu terasa mendidih. Di saat suara gemuruh peserta rapat semakin memuncak, SBY tiba-tiba menyambar mikropon. “Sudah, sudah, Kapolri, Panglima TNI, semua diam. Masalah ini yang bisa menyelesaikan hanya Ibu Fadilah Supari,” tandas SBY.

Mendengar lontaran Presiden, semua jajaran menteri bidang Polhukam terhenyak. Tak ada satupun yang menyela atau mempertanyakan kenapa SBY menyebut nama Menteri Kesehatan itu. Melihat hal itu, SBY lantas melanjutkan kalimatnya, “Ibu Fadilah Supari mempunyai pengaruh kuat di kalangan ormas Islam, termasuk kalangan fundamentalis.”

Entah karena faktor Siti Fadilah atau bukan, sepekan kemudian pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung tentang pembekuan Ahmadiyah. Pro-kontra kasus Monas pun akhirnya mereda.

Sebesar itukah power Siti Fadilah sehingga seorang SBY begitu mempercayakan penyelesaian masalah yang semestinya menjadi tanggung jawab Kapolri? Ada agenda apa sehingga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu memunculkan nama salah satu kader terbaik Muhammadiyah itu?

Kecurigaan adanya agenda terselubung (hidden agenda) di balik sikap SBY yang “menganak-emaskan” Siti Fadilah mencuat karena munculnya sinyalemen-sinyalemen yang mengarah ke situ. Bahkan, kabarnya, SBY sudah “melirik” Siti Fadilah untuk dijadikan tandemnya di Pilpres 2009, menggeser posisi Jusuf Kalla. Ketertarikan SBY dengan sosok Siti Fadilah karena putri Solo itu dinilai cukup intelek, pekerja keras, dan pemberani.

Memang, sejak menjabat Menkes, 21 Oktober 2004 silam, Siti Fadilah beberapa kali membuat gebrakan berani. Bahkan, pemerintah AS dan organisasi kesehatan dunia (WHO) dibuat kebakaran jenggot dengan terbitnya buku Siti Fadilah: Saatnya Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Maklum, buku setebal 206 halaman tersebut mengulas konspirasi pemerintah AS dan WHO dalam memanfaatkan virus flu burung H5N1 untuk pengembangan senjata biologis.

Siti Fadilah kembali membuat pemerintah AS berang dengan sikap tegasnya menentang perpanjangan kontrak kerjasama antara Departemen Kesehatan Indonesia dan Angkatan Laut AS dalam bentuk laboratorium penelitian Namru II. ”Keberadaannya tak membawa manfaat bagi bangsa Indonesia,” tegas Siti Fadilah saat raker dengan Komisi I DPR, Kamis (26/6) pekan lalu.

Tak hanya itu. Sinyalemen terbaru, menurut sumber Indonesia Monitor, atas restu SBY, Siti Fadilah telah membentuk semacam lembaga think tank yang berperan sebagai tim sukses menghadapi Pilpres 2009. Tim ini mempersiapkan Siti Fadilah sebagai kandidat cawapres mendampingi SBY.

Tim ini bergerilya dari sebuah rumah sederhana di kawasan elit Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tepatnya di Jalan Cipaku II No 13. Di markas ini, ada dua wanita yang berperan sentral, yakni Siti Amanah dan Nurhayati Pane alias Ani Pane.

Siti Amanah adalah teman kecil Siti Fadilah semasa SD dan SMP di Surakarta, Jawa Tengah. Hubungan keluarga Siti Amanah dan Siti Fadilah sangat dekat. ”Anak-anak Fadilah memanggil saya ’Bude’,” ujar Siti Amanah.

Di kalangan Departemen Kesehatan (Depkes), Siti Amanah yang biasa disapa dengan panggilan”Ibu Am” cukup dikenal, terutama yang terkait dengan kegiatan tender di lingkungan departemen tersebut. ”Dalam tim Cipaku, Amanah diberi tugas khusus sebagai fund raising alias pengolek dana untuk kegiatan tim sukses,” ujar sumber di lingkaran Menkes itu.

Sementara, Ani Pane, menurut sumber, dalam tim Cipaku keberadaannya sebagai wakil dari Partai Demokrat dan ”orang dalam” SBY. Ani disebut-disebut memiliki hubungan keluarga dengan Aulia Pohan, mantan Deputi Gubernur BI yang juga besan SBY. Ia sangat dekat dengan Ani Yudhoyono. ”Annisa Pohan (istri Letnan Satu Inf Agus Harimurti Yudhoyono) biasa memanggil Ani dengan sapaan ’Tante’,” tutur sumber tersebut.

Saat ini, di Partai Demokrat Ani duduk sebagai Wakil Bendahara I. Selain Ani, jajaran pengurus DPP yang disebut-sebut masuk dalam tim ini adalah Johnny Allen Marbun (Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan) dan Anas Urbaningrum (Ketua Bidang Politik). Mereka bergerak sesuai dengan bidang yang diketahuinya.

Selain Amanah dan Ani, ada dua tokoh lain yang bergerilya dari markas di Cipaku, yakni HA Mundzir dan Ferry Joko Juliantono. HA Mundzir atau biasa disapa Gus Mundzir adalah ulama NU asal Bangkalan, Madura. Ketua Yayasan Balai Pengobatan NU Sayyid Abdurrahman Jombang (Jatim) ini diberi tugas khusus mendekatkan Siti Fadilah ke kantong-kantong nahdliyin di Jawa Timur. Ia juga bertugas merangkul ulama-ulama dari lintas organisasi Islam di seluruh Indonesia.

Program penggalangan massa NU di Jatim cukup berhasil dengan mengawinkan program Depkes dan pesantren setempat dengan nama Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren). ”Awalnya, Poskestren dicanangkan untuk 200 pesantren di Jawa Timur, tapi berkembang menjadi 400 pesantren di seluruh Indonesia,” ungkap Gus Mundzir kepada Indonesia Monitor, Selasa (24/6) pekan lalu.

Sementara, Ferry Joko Juliantono adalah Ketua Dewan Tani Indonesia. Sesuai ”habibatnya”, ia diberi mandat khusus untuk merekrut massa dari kalangan petani menjelang Pilpres 2009. Masuknya mantan Ketua DPP Partai Sarikat Indonesia (PSI) itu ke dalam tim Cipaku cukup beralasan. Pada Pilpres 2004 putaran kedua, PSI merupakan salah satu parpol pendukung SBY. Bahkan, Sekjen PSI Jumhur Hidayat, saat ini masuk ke pemerintahan SBY dan duduk sebagai Ketua BNP2TKI.

Ferry juga mengakui, saat ini ia berkantor di Jl Cipaku II No 13, dan saling kenal dengan Amanah. ”Kita saling bantu. Tapi, saya tidak masuk dalam tim Siti Fadilah,” elaknya kepada Indonesia Monitor. Ketika dikonfirmasi, Sekjen Komite Bangkit Indonesia (KBI) itu masih berada di Guangzhou, Cina, untuk menghadiri undangan All China Youth Federation. Saat tiba di Tanah Air, ia langsung ditangkap polisi dan dijadikan tersangka dengan tudingan sebagai dalang dalam aksi demo rusuh di depan kampus Unika Atmajaya dan DPR.

Selain bergerilya dari Cipaku, Siti Fadilah juga memanfaatkan rumah dinas Menkes di Jl Denpasar Raya No 14, Kuningan, Jakarta Selatan, sebagai base camp kegiatannya. Selasa (24/6) malam, pekan lalu, misalnya, rumah Siti Fadilah disesaki ulama-ulama lintas organisasi Islam di Indonesia, seperti dari NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Al Wasliyah, dan Wahidiyah.

Menurut Gus Mundzir, di rumah Siti Fadilah minimal tiga kali sebulan digelar istighatsah dan pengajian. Meskipun yang punya rumah tidak ada, kegiatan tersebut tetap berjalan. ”Yang datang biasanya sekitar 200 ulama, santri, dan undangan dari berbagai kalangan,” ungkapnya.

Meski mengakui mengenal nama-nama tokoh yang disebut-sebut masuk tim suksesnya, Siti Fadilah mengelak dibilang sedang menggalang kekuatan untuk menghadapi Pilpres 2009. ”Nggak ada agenda politik,” ujar Siti Fadilah kepada Indonesia Monitor, Selasa (24/6) pekan lalu.

Ia mengakui di rumahnya memang sering digelar istighatsah atau doa bersama dengan ulama-ulama. Tapi, katanya, itu sekadar doa bersama, tak ada muatan politis. ”Saya hanya minta didoakan. Apalagi, hati saya merasa hangat jika dekat dengan ulama,” akunya. Soal ”lirikan” dan sanjungan SBY di hadapan menteri bidang Polhukam, ia tidak mau banyak komentar. ”Saya no comment. Saya nggak merasa dilirik.”

Amanah dan Ani Pane setali tiga uang. Meski membantah ada agenda politik di markas Cipaku, Amanah mengaku kadang-kadang mampir ke rumah itu. ”Kalau kebetulan saya kelelahan di jalan, atau sekadar mampir untuk shalat,” tuturnya. Ani Pane bahkan sama sekali tak mau komentar.

Johnny Allen Marbun juga menepis tudingan SBY sedang ”main mata” dan ”menganak-emaskan” Siti Fadilah. Menurutnya, semua jajaran kabinet, baik laki-laki maupun perempuan, mendapat perhatian yang sama dari SBY. “Tidak benar itu. Semua menteri baik laki-laki maupun perempuan dicintai SBY,” paparnya.

Namun, Gus Mundzir sedikit membuka tabir. ”Sangat pas kalau Pak SBY memilih Bu Fadilah sebagai cawapres nanti. Meski beliau kader Muhammadiyah, ulama-ulama NU banyak yang senang. Apalagi, beliau punya massa riil.”

Jika sinyal yang dilontarkan Gus Mundzir jadi kenyataan, yang bakal blingsatan tentunya Wapres Jusuf Kalla. Sebab, sampai akhir pekan lalu, tandem SBY di Pilpres 2004 itu belum tahu munculnya kabar agenda politik terselubung SBY-Siti. “Wah, saya malah baru tahu dari Anda,” ujar Aksa Mahmud, adik ipar Jusuf Kalla yang selama ini menjadi tim suksesnya. Meski begitu, Aksa menilai hal itu biasa saja. “Kita nggak merasa ditinggalkan, apalagi ditelikung,” lanjutnya.

Meski Kalla nggak jadi kendala, SBY-Siti juga mesti berhitung. Yang perlu dipikirkan, apakah tandem mereka punya peluang di Pilpres 2009? Seberapa besar faktor Siti mendongkrak pamor SBY? Untuk mengujinya cukup mudah. “Coba tanyakan ke pedagang asongan, tahu nggak siapa itu Siti?” ujar pengamat politik UI Fachry Ali.

“Kalau Siti KDI saya tahu,” tutur Usman (35), pedagang soto dorong yang sering mangkal di ujung Jl Cipaku II—30 meter dari markas tim sukses Siti Fadilah.

>> Sudarto, Dzikry Subhanie, Moh Anshari, Sri Widodo

*) Tabloid “Indonesia Monitor” edisi 1 Tahun I/2-8 Juli 2008

Burung Perkutut Putu Wijaya


Ini adalah aksi seniman Putu Wijaya saat membawakan monolog “Burung Perkutut” di acara Peringatan Hari Dekrit 5 Juli 2008 dan Launching Tabloid Indonesia Monitor di Ballroom Kridangga, Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, pada 5 Juli 2008. Hadirin berulang kali memberikan aplaus atas penampilan seniman asal Bali yang begitu spektakuler. Putu membawakan monolog dengan cair dan sangat apresiatif sehingga sangat segar dan hidup. (Foto: Siap Bangun Negara/Indonesia Monitor)

Ayo, Kembali ke Akal Sehat

Oleh: Syahrial Nasution*

Syahrial_nasution@yahoo.com

Keputusan DPR menyetujui pelaksanaan hak angket untuk menyelidiki kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) harus berjalan serius dan transparan. Bukan dagelan apalagi jadi bahan bancakan partai politik. Bongkar semua pihak yang terlibat kegiatan penyengsaraan rakyat tersebut. Bukan hanya pada tingkat pelaksana, termasuk para pejabat dan penjahat yang terlibat. Temukan gembongnya, penjarakan!

Sebab, inilah momentum penting bagi bangsa Indonesia supaya rakyat bisa keluar dari kondisi yang semrawut tatanan kehidupan sosial dan ekonominya. Tidak ada alasan bagi pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk tidak taat terhadap Undang Undang (UU) dengan dilaksanakannya hak angket yang dimiliki Dewan. Karena, kebijakan subsidi BBM bukan dilahirkan oleh SBY.

Sehingga, tidak ada pula alasan bagi pemerintahan SBY melindungi segenap mafia yang terang-terangan mengisap darah rakyat dengan cara memanfaatkan jalur distribusi BBM untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok. Negeri kaya minyak kok seumur-umur rakyatnya harus mengantre minyak. Dari jaman sebelum kemerdekaan sampai hampir 63 tahun akan merdeka. Duh… Gusti!

Kalau saja para founding father negeri ini masih dapat kesempatan memohon dari alam kubur sana, barangkali mereka akan minta untuk tidak pernah dilahirkan. Sebab, pengorbanan nyawa dan air mata sudah tak ada artinya. Bagaimana mungkin pengorbanan yang dilakukan terhadap negara dimana banyak keluarga tercerai-berai, isteri-isteri kehilangan suami, anak-anak menjadi yatim, terpisah dari orang tua dan saudara demi satu kata MERDEKA, saat ini bernasib tragis. Ibu pertiwi tidak saja hanya sedang menangis seperti lagu yang sering didendangkan, tapi meronta karena tak bisa berbuat apa-apa.

Sejarah menuliskan bagaimana Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir dan Bung… Bung… yang tidak tersebut dalam catatan, telah menggariskan cetak biru negara ini sejak satu abad lampau. Sebuah cita-cita telah disematkan di sanubari terdalam para pendiri bangsa yakni, Menuju Masyarakat yang Adil dan Makmur. Tapi, apa gerangan yang terjadi? Pengorbanan dan cita-cita itu hancur lebur tak tentu arah.

Pemerintahan yang sudah beberapa kali silih berganti lebih banyak bicara soal kekuasaan dan kepuasan. Entah kemana gerangan cita-cita luhur itu mencari persinggahan. Rakyat sakit bukan cuma fisik, tapi juga jiwa. Sebagai akibat dari ketidak mapanan dan kerapuhan kondisi sosial-ekonomi yang tak kunjung memadai. Sementara para pemimpin dan elite politik berasyik masyuk dengan permainan sendiri, lagi-lagi demi pribadi dan kelompok.

Krisis BBM –krisis energi– yang terus terjadi tanpa kunjung menemukan solusi hendaknya menjadi cermin bagi kita bahwa perjuangan idealisme, tidak bisa dititipkan. Sama halnya dengan orang-orang tua kita dulu yang tak pernah merasa diperintah untuk memanggul bambu runcing. Sejak penguasa Orde Baru memasuki sistem pemerintahan Republik ini, rakyat tetap salah urus. Begitu pula ketika Habibie, pemerintahan Abdurrahman Wahid, era Megawati Soekarnoputri hingga Presiden SBY, tak kunjung mampu menjadi bersemayamnya sebuah cita-cita: menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Oleh karena itu, rakyat harus dibukakan hati dan pikirannya supaya bisa kembali berpikir jernih bahwa kesejahteraan tidak bisa hanya mengandalkan pemimpin yang senantiasa tebar pesona. Kemakmuran tidak mungkin digantungkan hanya pada keturunan seorang pemimpin besar. Dan keadilan tidak mungkin diraih lewat orang-orang yang hanya mampu menciptakan mimpi. Negara ini hanya akan maju oleh badan dan hati kita, sesuatu yang naif namun mengurai fakta. Kecuali, para pemimpin dan elite politik yang ada saat ini memang sengaja ingin rakyatnya terus dalam kondisi sakit.

Rakyat tengah menantikan Hak Angket DPR untuk menyelidiki dampak kenaikan harga BBM akan mampu mengubah nasib. Akan lahirnya kebijakan terhadap energi yang pro terhadap masa depan bangsa Indonesia. Bukan lahirnya kebijakan-kebijakan yang ngawur dan menguntungkan segelintir orang. Tunduk terhadap kepentingan perusahaan asing yang berpuluh tahun mengeksploitasi kekayaan alam bumi pertiwi. Dan tidak melakukan tindakan putus asa semisal proyek ‘Blue Energy’ untuk mengubah air menjadi minyak seperti yang didukung Presiden SBY.

Kita tidak sedang bermain sulap atau butuh tukang sihir untuk memperbaiki Ibu Pertiwi yang dirundung sedih ini. Yang kita perlukan adalah tekad dan langkah nyata. Untuk itulah Indonesia Monitor menyerukan sebuah Dekrit untuk mengatasi krisis dan kebuntuan yang dialami sebagian besar rakyat di negeri ini, ayo…!!!

*) Penulis adalah wartawan senior. Tulisan ini diterbitkan untuk tajuk Tabloid Indonesia Monitor edisi 1 Tahun I/2-8 Juli 2008