Jumat, 18 Juli 2008

Aroma Selingkuh di Cipaku


Senin (2/6) petang, mobil Volvo hitam berpelat B 2670 BS meluncur cepat ke halaman kantor Menko Polhukam di Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Belum sempat berhenti benar, pintu belakang terbuka. Sang penumpang, Presiden SBY, bergegas keluar dan langsung masuk ke ruang utama, meninggalkan ajudan yang pontang-panting menguntitnya.

Mengenakan safari abu-abu lengan panjang dan celana hitam, raut muka SBY terlihat tegang. Dia hanya mengembangkan senyum kecil ketika masuk ruang rapat dan mempersilakan peserta rapat yang sudah lama menunggu untuk kembali duduk. “Kita mulai saja,” ujarnya sambil membuka-buka buku agenda.

Rapat koordinasi terbatas bidang Polhukam yang digelar mendadak pukul 17.20 WIB itu diagendakan membahas kasus tindak kekerasan yang dilakukan Komando Laskar Islam terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AK-KBB) di Monas, sehari sebelumnya.

Hadir dalam rapat itu Menko Polhukan Widodo AS, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, Kapolri Jenderal Sutanto, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kepala BIN Syamsir Siregar, Menhan Juwono Sudarsono, Mensesneg Hatta Rajasa, Menlu Hassan Wirajuda, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, Menseskab Sudi Silalahi, serta dua Jubir Presiden, Andi Mallarangeng dan Dino Patti Djalal. Hadir pula Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Adang Firman.

Sebelum rapat berakhir pukul 19.10 WIB, terjadi perdebatan sengit membahas tindak kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya puluhan korban luka berat dari massa AK-KBB. Kapolri, Panglima TNI, dan Kepala BIN memaparkan argumennya masing-masing, disusul Menteri Hukum dan HAM. SBY terlihat belum puas dengan argumen yang dilontarkan oleh para pembantunya itu.

Ketika perdebatan tak berujung pada kata sepakat, suasana rapat semakin memanas. Ruangan utama kantor Polhukam yang biasanya sejuk, petang itu terasa mendidih. Di saat suara gemuruh peserta rapat semakin memuncak, SBY tiba-tiba menyambar mikropon. “Sudah, sudah, Kapolri, Panglima TNI, semua diam. Masalah ini yang bisa menyelesaikan hanya Ibu Fadilah Supari,” tandas SBY.

Mendengar lontaran Presiden, semua jajaran menteri bidang Polhukam terhenyak. Tak ada satupun yang menyela atau mempertanyakan kenapa SBY menyebut nama Menteri Kesehatan itu. Melihat hal itu, SBY lantas melanjutkan kalimatnya, “Ibu Fadilah Supari mempunyai pengaruh kuat di kalangan ormas Islam, termasuk kalangan fundamentalis.”

Entah karena faktor Siti Fadilah atau bukan, sepekan kemudian pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung tentang pembekuan Ahmadiyah. Pro-kontra kasus Monas pun akhirnya mereda.

Sebesar itukah power Siti Fadilah sehingga seorang SBY begitu mempercayakan penyelesaian masalah yang semestinya menjadi tanggung jawab Kapolri? Ada agenda apa sehingga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu memunculkan nama salah satu kader terbaik Muhammadiyah itu?

Kecurigaan adanya agenda terselubung (hidden agenda) di balik sikap SBY yang “menganak-emaskan” Siti Fadilah mencuat karena munculnya sinyalemen-sinyalemen yang mengarah ke situ. Bahkan, kabarnya, SBY sudah “melirik” Siti Fadilah untuk dijadikan tandemnya di Pilpres 2009, menggeser posisi Jusuf Kalla. Ketertarikan SBY dengan sosok Siti Fadilah karena putri Solo itu dinilai cukup intelek, pekerja keras, dan pemberani.

Memang, sejak menjabat Menkes, 21 Oktober 2004 silam, Siti Fadilah beberapa kali membuat gebrakan berani. Bahkan, pemerintah AS dan organisasi kesehatan dunia (WHO) dibuat kebakaran jenggot dengan terbitnya buku Siti Fadilah: Saatnya Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Maklum, buku setebal 206 halaman tersebut mengulas konspirasi pemerintah AS dan WHO dalam memanfaatkan virus flu burung H5N1 untuk pengembangan senjata biologis.

Siti Fadilah kembali membuat pemerintah AS berang dengan sikap tegasnya menentang perpanjangan kontrak kerjasama antara Departemen Kesehatan Indonesia dan Angkatan Laut AS dalam bentuk laboratorium penelitian Namru II. ”Keberadaannya tak membawa manfaat bagi bangsa Indonesia,” tegas Siti Fadilah saat raker dengan Komisi I DPR, Kamis (26/6) pekan lalu.

Tak hanya itu. Sinyalemen terbaru, menurut sumber Indonesia Monitor, atas restu SBY, Siti Fadilah telah membentuk semacam lembaga think tank yang berperan sebagai tim sukses menghadapi Pilpres 2009. Tim ini mempersiapkan Siti Fadilah sebagai kandidat cawapres mendampingi SBY.

Tim ini bergerilya dari sebuah rumah sederhana di kawasan elit Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tepatnya di Jalan Cipaku II No 13. Di markas ini, ada dua wanita yang berperan sentral, yakni Siti Amanah dan Nurhayati Pane alias Ani Pane.

Siti Amanah adalah teman kecil Siti Fadilah semasa SD dan SMP di Surakarta, Jawa Tengah. Hubungan keluarga Siti Amanah dan Siti Fadilah sangat dekat. ”Anak-anak Fadilah memanggil saya ’Bude’,” ujar Siti Amanah.

Di kalangan Departemen Kesehatan (Depkes), Siti Amanah yang biasa disapa dengan panggilan”Ibu Am” cukup dikenal, terutama yang terkait dengan kegiatan tender di lingkungan departemen tersebut. ”Dalam tim Cipaku, Amanah diberi tugas khusus sebagai fund raising alias pengolek dana untuk kegiatan tim sukses,” ujar sumber di lingkaran Menkes itu.

Sementara, Ani Pane, menurut sumber, dalam tim Cipaku keberadaannya sebagai wakil dari Partai Demokrat dan ”orang dalam” SBY. Ani disebut-disebut memiliki hubungan keluarga dengan Aulia Pohan, mantan Deputi Gubernur BI yang juga besan SBY. Ia sangat dekat dengan Ani Yudhoyono. ”Annisa Pohan (istri Letnan Satu Inf Agus Harimurti Yudhoyono) biasa memanggil Ani dengan sapaan ’Tante’,” tutur sumber tersebut.

Saat ini, di Partai Demokrat Ani duduk sebagai Wakil Bendahara I. Selain Ani, jajaran pengurus DPP yang disebut-sebut masuk dalam tim ini adalah Johnny Allen Marbun (Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan) dan Anas Urbaningrum (Ketua Bidang Politik). Mereka bergerak sesuai dengan bidang yang diketahuinya.

Selain Amanah dan Ani, ada dua tokoh lain yang bergerilya dari markas di Cipaku, yakni HA Mundzir dan Ferry Joko Juliantono. HA Mundzir atau biasa disapa Gus Mundzir adalah ulama NU asal Bangkalan, Madura. Ketua Yayasan Balai Pengobatan NU Sayyid Abdurrahman Jombang (Jatim) ini diberi tugas khusus mendekatkan Siti Fadilah ke kantong-kantong nahdliyin di Jawa Timur. Ia juga bertugas merangkul ulama-ulama dari lintas organisasi Islam di seluruh Indonesia.

Program penggalangan massa NU di Jatim cukup berhasil dengan mengawinkan program Depkes dan pesantren setempat dengan nama Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren). ”Awalnya, Poskestren dicanangkan untuk 200 pesantren di Jawa Timur, tapi berkembang menjadi 400 pesantren di seluruh Indonesia,” ungkap Gus Mundzir kepada Indonesia Monitor, Selasa (24/6) pekan lalu.

Sementara, Ferry Joko Juliantono adalah Ketua Dewan Tani Indonesia. Sesuai ”habibatnya”, ia diberi mandat khusus untuk merekrut massa dari kalangan petani menjelang Pilpres 2009. Masuknya mantan Ketua DPP Partai Sarikat Indonesia (PSI) itu ke dalam tim Cipaku cukup beralasan. Pada Pilpres 2004 putaran kedua, PSI merupakan salah satu parpol pendukung SBY. Bahkan, Sekjen PSI Jumhur Hidayat, saat ini masuk ke pemerintahan SBY dan duduk sebagai Ketua BNP2TKI.

Ferry juga mengakui, saat ini ia berkantor di Jl Cipaku II No 13, dan saling kenal dengan Amanah. ”Kita saling bantu. Tapi, saya tidak masuk dalam tim Siti Fadilah,” elaknya kepada Indonesia Monitor. Ketika dikonfirmasi, Sekjen Komite Bangkit Indonesia (KBI) itu masih berada di Guangzhou, Cina, untuk menghadiri undangan All China Youth Federation. Saat tiba di Tanah Air, ia langsung ditangkap polisi dan dijadikan tersangka dengan tudingan sebagai dalang dalam aksi demo rusuh di depan kampus Unika Atmajaya dan DPR.

Selain bergerilya dari Cipaku, Siti Fadilah juga memanfaatkan rumah dinas Menkes di Jl Denpasar Raya No 14, Kuningan, Jakarta Selatan, sebagai base camp kegiatannya. Selasa (24/6) malam, pekan lalu, misalnya, rumah Siti Fadilah disesaki ulama-ulama lintas organisasi Islam di Indonesia, seperti dari NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Al Wasliyah, dan Wahidiyah.

Menurut Gus Mundzir, di rumah Siti Fadilah minimal tiga kali sebulan digelar istighatsah dan pengajian. Meskipun yang punya rumah tidak ada, kegiatan tersebut tetap berjalan. ”Yang datang biasanya sekitar 200 ulama, santri, dan undangan dari berbagai kalangan,” ungkapnya.

Meski mengakui mengenal nama-nama tokoh yang disebut-sebut masuk tim suksesnya, Siti Fadilah mengelak dibilang sedang menggalang kekuatan untuk menghadapi Pilpres 2009. ”Nggak ada agenda politik,” ujar Siti Fadilah kepada Indonesia Monitor, Selasa (24/6) pekan lalu.

Ia mengakui di rumahnya memang sering digelar istighatsah atau doa bersama dengan ulama-ulama. Tapi, katanya, itu sekadar doa bersama, tak ada muatan politis. ”Saya hanya minta didoakan. Apalagi, hati saya merasa hangat jika dekat dengan ulama,” akunya. Soal ”lirikan” dan sanjungan SBY di hadapan menteri bidang Polhukam, ia tidak mau banyak komentar. ”Saya no comment. Saya nggak merasa dilirik.”

Amanah dan Ani Pane setali tiga uang. Meski membantah ada agenda politik di markas Cipaku, Amanah mengaku kadang-kadang mampir ke rumah itu. ”Kalau kebetulan saya kelelahan di jalan, atau sekadar mampir untuk shalat,” tuturnya. Ani Pane bahkan sama sekali tak mau komentar.

Johnny Allen Marbun juga menepis tudingan SBY sedang ”main mata” dan ”menganak-emaskan” Siti Fadilah. Menurutnya, semua jajaran kabinet, baik laki-laki maupun perempuan, mendapat perhatian yang sama dari SBY. “Tidak benar itu. Semua menteri baik laki-laki maupun perempuan dicintai SBY,” paparnya.

Namun, Gus Mundzir sedikit membuka tabir. ”Sangat pas kalau Pak SBY memilih Bu Fadilah sebagai cawapres nanti. Meski beliau kader Muhammadiyah, ulama-ulama NU banyak yang senang. Apalagi, beliau punya massa riil.”

Jika sinyal yang dilontarkan Gus Mundzir jadi kenyataan, yang bakal blingsatan tentunya Wapres Jusuf Kalla. Sebab, sampai akhir pekan lalu, tandem SBY di Pilpres 2004 itu belum tahu munculnya kabar agenda politik terselubung SBY-Siti. “Wah, saya malah baru tahu dari Anda,” ujar Aksa Mahmud, adik ipar Jusuf Kalla yang selama ini menjadi tim suksesnya. Meski begitu, Aksa menilai hal itu biasa saja. “Kita nggak merasa ditinggalkan, apalagi ditelikung,” lanjutnya.

Meski Kalla nggak jadi kendala, SBY-Siti juga mesti berhitung. Yang perlu dipikirkan, apakah tandem mereka punya peluang di Pilpres 2009? Seberapa besar faktor Siti mendongkrak pamor SBY? Untuk mengujinya cukup mudah. “Coba tanyakan ke pedagang asongan, tahu nggak siapa itu Siti?” ujar pengamat politik UI Fachry Ali.

“Kalau Siti KDI saya tahu,” tutur Usman (35), pedagang soto dorong yang sering mangkal di ujung Jl Cipaku II—30 meter dari markas tim sukses Siti Fadilah.

>> Sudarto, Dzikry Subhanie, Moh Anshari, Sri Widodo

*) Tabloid “Indonesia Monitor” edisi 1 Tahun I/2-8 Juli 2008

Burung Perkutut Putu Wijaya


Ini adalah aksi seniman Putu Wijaya saat membawakan monolog “Burung Perkutut” di acara Peringatan Hari Dekrit 5 Juli 2008 dan Launching Tabloid Indonesia Monitor di Ballroom Kridangga, Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta, pada 5 Juli 2008. Hadirin berulang kali memberikan aplaus atas penampilan seniman asal Bali yang begitu spektakuler. Putu membawakan monolog dengan cair dan sangat apresiatif sehingga sangat segar dan hidup. (Foto: Siap Bangun Negara/Indonesia Monitor)

Ayo, Kembali ke Akal Sehat

Oleh: Syahrial Nasution*

Syahrial_nasution@yahoo.com

Keputusan DPR menyetujui pelaksanaan hak angket untuk menyelidiki kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) harus berjalan serius dan transparan. Bukan dagelan apalagi jadi bahan bancakan partai politik. Bongkar semua pihak yang terlibat kegiatan penyengsaraan rakyat tersebut. Bukan hanya pada tingkat pelaksana, termasuk para pejabat dan penjahat yang terlibat. Temukan gembongnya, penjarakan!

Sebab, inilah momentum penting bagi bangsa Indonesia supaya rakyat bisa keluar dari kondisi yang semrawut tatanan kehidupan sosial dan ekonominya. Tidak ada alasan bagi pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk tidak taat terhadap Undang Undang (UU) dengan dilaksanakannya hak angket yang dimiliki Dewan. Karena, kebijakan subsidi BBM bukan dilahirkan oleh SBY.

Sehingga, tidak ada pula alasan bagi pemerintahan SBY melindungi segenap mafia yang terang-terangan mengisap darah rakyat dengan cara memanfaatkan jalur distribusi BBM untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok. Negeri kaya minyak kok seumur-umur rakyatnya harus mengantre minyak. Dari jaman sebelum kemerdekaan sampai hampir 63 tahun akan merdeka. Duh… Gusti!

Kalau saja para founding father negeri ini masih dapat kesempatan memohon dari alam kubur sana, barangkali mereka akan minta untuk tidak pernah dilahirkan. Sebab, pengorbanan nyawa dan air mata sudah tak ada artinya. Bagaimana mungkin pengorbanan yang dilakukan terhadap negara dimana banyak keluarga tercerai-berai, isteri-isteri kehilangan suami, anak-anak menjadi yatim, terpisah dari orang tua dan saudara demi satu kata MERDEKA, saat ini bernasib tragis. Ibu pertiwi tidak saja hanya sedang menangis seperti lagu yang sering didendangkan, tapi meronta karena tak bisa berbuat apa-apa.

Sejarah menuliskan bagaimana Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir dan Bung… Bung… yang tidak tersebut dalam catatan, telah menggariskan cetak biru negara ini sejak satu abad lampau. Sebuah cita-cita telah disematkan di sanubari terdalam para pendiri bangsa yakni, Menuju Masyarakat yang Adil dan Makmur. Tapi, apa gerangan yang terjadi? Pengorbanan dan cita-cita itu hancur lebur tak tentu arah.

Pemerintahan yang sudah beberapa kali silih berganti lebih banyak bicara soal kekuasaan dan kepuasan. Entah kemana gerangan cita-cita luhur itu mencari persinggahan. Rakyat sakit bukan cuma fisik, tapi juga jiwa. Sebagai akibat dari ketidak mapanan dan kerapuhan kondisi sosial-ekonomi yang tak kunjung memadai. Sementara para pemimpin dan elite politik berasyik masyuk dengan permainan sendiri, lagi-lagi demi pribadi dan kelompok.

Krisis BBM –krisis energi– yang terus terjadi tanpa kunjung menemukan solusi hendaknya menjadi cermin bagi kita bahwa perjuangan idealisme, tidak bisa dititipkan. Sama halnya dengan orang-orang tua kita dulu yang tak pernah merasa diperintah untuk memanggul bambu runcing. Sejak penguasa Orde Baru memasuki sistem pemerintahan Republik ini, rakyat tetap salah urus. Begitu pula ketika Habibie, pemerintahan Abdurrahman Wahid, era Megawati Soekarnoputri hingga Presiden SBY, tak kunjung mampu menjadi bersemayamnya sebuah cita-cita: menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Oleh karena itu, rakyat harus dibukakan hati dan pikirannya supaya bisa kembali berpikir jernih bahwa kesejahteraan tidak bisa hanya mengandalkan pemimpin yang senantiasa tebar pesona. Kemakmuran tidak mungkin digantungkan hanya pada keturunan seorang pemimpin besar. Dan keadilan tidak mungkin diraih lewat orang-orang yang hanya mampu menciptakan mimpi. Negara ini hanya akan maju oleh badan dan hati kita, sesuatu yang naif namun mengurai fakta. Kecuali, para pemimpin dan elite politik yang ada saat ini memang sengaja ingin rakyatnya terus dalam kondisi sakit.

Rakyat tengah menantikan Hak Angket DPR untuk menyelidiki dampak kenaikan harga BBM akan mampu mengubah nasib. Akan lahirnya kebijakan terhadap energi yang pro terhadap masa depan bangsa Indonesia. Bukan lahirnya kebijakan-kebijakan yang ngawur dan menguntungkan segelintir orang. Tunduk terhadap kepentingan perusahaan asing yang berpuluh tahun mengeksploitasi kekayaan alam bumi pertiwi. Dan tidak melakukan tindakan putus asa semisal proyek ‘Blue Energy’ untuk mengubah air menjadi minyak seperti yang didukung Presiden SBY.

Kita tidak sedang bermain sulap atau butuh tukang sihir untuk memperbaiki Ibu Pertiwi yang dirundung sedih ini. Yang kita perlukan adalah tekad dan langkah nyata. Untuk itulah Indonesia Monitor menyerukan sebuah Dekrit untuk mengatasi krisis dan kebuntuan yang dialami sebagian besar rakyat di negeri ini, ayo…!!!

*) Penulis adalah wartawan senior. Tulisan ini diterbitkan untuk tajuk Tabloid Indonesia Monitor edisi 1 Tahun I/2-8 Juli 2008


Jangan Lacurkan Idealisme Kami

Oleh: Syahrial Nasution

Syahrial_nasution@yahoo.com



Kehadiran Indonesia Monitor adalah sebuah tekad. Tekad dari sekumpulan

jurnalis muda yang merasa bahwa idealisme semestinya masih memiliki tempat di hati publik. Sebab, kondisi kesulitan sosial-ekonomi yang dialami masyarakat saat ini memang memungkinkan kita untuk mencari sisi-sisi dimana generasi muda yang ada harus berpikir tentang keberhasilan di masa depan.

Berangkat dari perjuangan para pendiri bangsa sejak satu abad lampau, kami mencoba merenungkan apa sesungguhnya yang salah dengan sejarah negeri ini, sehingga kondisi bangsa tak kunjung lepas dari keterpurukan. Tonggak kemerdekan pasca ikrar Proklamasi yang dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta 63 tahun silam, mestinya merupakan sebuah titik mula bagi bangkitnya negara bernama Indonesia. Namun, semangat dan cita-cita yang disematkan para founding fathers yakni, menuju masyarakat yang adil dan makmur hingga kini rasanya tak pernah bersemayam.

Karena itu, kami para jurnalis muda yang pernah berkiprah dari berbagai media merasa tertantang untuk coba mengambil sisi idealisme dalam menjalankan profesi jurnalistik. Dengan slogan Lebih Jelas Lebih Tegas, kami mencoba menyajikan kepada masyarakat bahwa kita tidak boleh diperbudak oleh harapan. Sebab, harapan itu sesungguhnya harus diraih dan diperjuangkan. Sehingga, muncullah sebuah gagasan untuk mendirikan tabloid Indonesia Monitor sebagai sebuah wadah penyaluran idealisme, pengembangan kreasi, dan arena pendidikan bagi masyarakat. Sehingga ke depan akan kami jadikan media ini sebagai one stop shopping politics in Indonesia.

Dengan mengambil porsi 80 persen informasi politik, tabloid Indonesia Monitor akan menyajikan sejumlah informasi yang penting, perlu dan menjadi alat kontrol sosial terhadap kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah. Sebab, proses politik yang ada sejak dimulainya rezim Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, toh tak kunjung mampu mengarah pada cita-cita para founding fathers.

Semoga langkah kami mendapatkan dukungan dari masyarakat dan jangan giring kami terhadap tindakan-tindakan yang dapat melacurkan idealisme. Justru, berikanlah kami kesempatan untuk berbuat dan melaksanakan apa yang kami cita-citakan untuk Republik ini.

Dengan mengambil Hari Dekrit sebagai langkah awal untuk kembali, kami pun menempatkan tema Kembali ke Akal Sehat sebagai pertanda dimulainya babak baru mengembalikan arah politik negeri ini sesuai cita-cita founding fathers.(*)



*) Penulis adalah wartawan senior. Tulisan ini disampaikan pada edisi ke-2 tabloid Indonesia Monitor 9-15 Juli 2008