Minggu, 12 Juni 2011

Mendekatkan Diri dengan Indonesia

id=
"Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang harus berusaha untuk merubahnya."

Petikan firman Allah SWT dalam Alquran tersebut selalu terngiang di kepala saya manakala semakin mendekatkan diri dengan rasa syukur. Sulit menjangkau dengan akal dan ilmu yang saya miliki untuk mengagungkan kebesaran sang Rabby. Terutama mensyukuri nikmat dan karunia yang telah dianugerahkan-Nya kepada bangsa ini.

Enam bulan sudah saya coba mendalami dan menggali rahasia Tuhan yang ada di dalam perut bumi di Kabupaten Kefamenanu, sekitar 190 km arah timur Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Takjub sekaligus tak henti-hentinya memuji Ashma Allah, betapa kayanya negeri ini dengan keindahan alam dan kekayaan tambang yang ada di dalamnya. Namun, tidak demikian halnya dengan rakyat Kefa.

Hidup jauh dari ingar-bingar modernisasi, kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan penduduk masih mendominasi daerah yang berbatasan dengan negara Timor Timur tersebut. Sentuhan pemerintah pusat untuk memanusiakan masyarakat Indonesia dengan gembar-gembor empat pilar bangsa yakni: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, senyap di sana.

Kepiawaian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjual citra tak masuk hitungan rakyat Kefa, khususnya di pedalaman Ponu, pedalaman Miamofo dan pedalaman Biboki. Seorang suami istri, giat menggali hamparan tanah mirip lobang sumur dengan bekal sebilah linggis di bawah panas terik matahari. Sementara seorang anak perempuan kecil sekitar lima tahunan menunggu di bibir lobang sambil bermain melempar batok kelapa dengan anjing kecilnya. Rambut keritingnya yang panjang terurai melambai seperti meledek merah-putih yang berkibar di halaman Istana Merdeka yang tak pernah kusut.

Itulah gambaran keluarga kecil yang miskin dan didera kebodohan akibat himpitan hidup di pedalaman Miamofo Barat, persisnya di Desa Naiola. Setiap pagi sejak pukul 06.00 WITA mereka habiskan waktu sedikitnya dua jam dari kediaman menuju lobang tambang Mangan dan mengais batu untuk dijual kepada pengepul demi melanjutkan hidup. Ketika fajar mulai sirna, hari itu (9/6/2011) keluarga Lukas Eko beruntung mampu mengumpulkan 95 kg batu Mangan dalam ember bututnya. Mereka akan menjual batu tersebut Rp 1.000 per kg kepada pengepul. Entah, besok hari mereka akan mendapatkan nasib baik seperti hari ini.***

Rabu, 24 Juni 2009

Kritisi SBY Kembali ke Proklamasi

Wawancara
24/06/2009 - 06:04

R Ferdian Andi R
Syahrial Nasution
(inilah.com)

INILAH.COM, Jakarta - Proses demokratisasi di negeri ini tak lepas dari peran pers sebagai pilar keempat dalam kekuasaan negara, selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Alhasil pers sebagai salah satu pilar penting demokrasi, menjadi kebutuhan untuk bersikap kritis.

Hal ini pula yang ditunjukkan oleh tabloid Indonesia Monitor, yang baru genap berusia satu tahun pada 5 Juli mendatang. Sikap kritis menjadi 'trade mark' tabloid yang 100% mengupas politik itu.

“Tabloid ini memang kita persiapkan untuk pembelajaran politik kepada masyarakat,” kata Direktur Indonesia Monitor Syahrial Nasution saat berkunjung ke Redaksi INILAH.COM, Selasa (23/6).

Setiap edisi, Indonesia Monitor selalu menyuguhkan tulisan kritis. Seperti soal bisnis keluarga SBY hingga bencana di era pemerintahan SBY. Menariknya, Syahrial saat Pilpres 2004 lalu memiliki peran besar dalam kemenangan SBY dalam mengelola media center SBY.

Bagaimana menjaga eksistensi Tabloid Indonesia Monitor di tengah sikap kritisnya terhadap rezim? Berikut wawancara lengkapnya:

Apa landasan Indonesia Monitor bersikap kritis terhadap pemerintah saat ini?

Penerbitan tabloid ini sesungguhnya sudah lama kita siapkan di tengah minimnya pembelajaran politik di masyarakat. Terkait perebutan kekuasaan, paling tidak kita mendorong SBY mengembalikan nilai-nilai Proklamasi 1945.

SBY ternyata ingin mempertahankan kekuasaan belaka. Tabloid ini bermaksud mewujudkan cita cita proklamasi, oleh sebab itu kami ingin mengkritisi SBY yang meninggalkan cita-citra proklamasi. Selain itu tentunya, kami ingin mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bagaimana Anda menyiasati untuk survive bisnis di satu sisi namun di sisi lain mempertahankan tabloid ini agar terus eksis?

Monitor Indonesia berangkat dari ideologi dan perjuangan. Memang ada motif bisnisnya, tapi bukan yang utama. Kalau dari sisi bisnis jelas memilih bersikap kritis terhadap rezim tidak kena.

Tapi dari sisi perjuangan sikap yang kami tempuh cukup efektif. Di sini, semangat nasionalisme digerakkan, simpati pasti ada dari masyarakat. Tabloid ini sebaga wahana kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan pilihan sikap kritis terhadap rezim, apakah Anda tidak menghadapi teror?

Kita mengupas masalah dari A sampai Z. Tentu kita akui, teror dalam bentuk ketidakpuasan karena pemberitaan sangat sering terjadi. Tapi tak kita tanggapi karena apa yang kita lakukan sesuai kaidah jurnalistik.

Ada yang senang dan tidak senang. Dan publik boleh menyampaikan aspirasinya. Tapi perlu diingat kita tunduk dengan UU Pers, bagi yang melihatnya pun dari harus dengan UU Pers.

Sudah berapa eksemplar tabloid anda?

Setiap edisi minimal 80 ribu eksemplar dan rata-rata 100 ribu.

Apa pandangan Anda soal pemerintahan SBY?

Pemerintahan SBY tidak fokus pada cita-cita 'founding fathers'. Dalam konteks pilpres ini semakin nyata dengan pilihan cawapres Boediono yang tersematkan berpaham ekonomi neolib. Sepertinya saat ini SBY menjadikan kekuasaan sebagai tujuan.

Dulu, saat Pilpres 2004, kebetulan kita ada di tim SBY, karena ideologi dan kesamaan perjuangan, cita-cita proklamasi. Ketika SBY menang dan cita-cita Founding fathers dengan Proklamasi 1945 tidak dijalankan, maka perjuangan kita tidak sejalan dengan SBY lagi dan kita mengalah. Kita bersikap kritis untuk kontrol demokrasi.

Apa kesan Anda yang pernah bersama SBY saat pilpres 2004?

Dulu saat membangun media center SBY, tak satupun sen dari SBY. Karena kita ada kesamaan perjuangan. Pada saat SBY terpilih, kita tidak minta apapun. Saat itu banyak sumbangan dari sukarelawan SBY, karena ada kesamaan perjuangan.

Pada 2004, mudah koordinasinya. SBY dicitrakan sebagai presiden untuk rakyat, SBY untuk berjuang. Saat ini tidak, sebab hanya melanjutkan kekuasaan demi kepentingan sesaat. Bukan untuk perjuangan bagi rakyat. [E1]