Kamis, 11 September 2008

Para Pejabat Anggap Ayin Seperti Virus Burhanudin: Keadilan Cuma Ada di Akhirat

Catatan: Syahrial Nasution

90 Menit Bersama Ayin dan Burhanudin di Tahanan Mabes Polri

Menikmati hidup di sebuah ruang sempit dan pengap berukuran tak lebih dari 2x3 meter barangkali tak pernah terlintas dalam benak Artalyta Suryani atau akrab disapa Ayin. Pengusaha wanita asal Lampung yang belakangan menjadi pusat pemberitaan di tanah air ini berusaha untuk tetap memperlihatkan wajah tegar ketika Indonesia Monitor menjenguknya di ruang tahanan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim), Mabes Polri, Jumat (29/8) pekan lalu.

Tanda waktu menunjukkan pukul 13.30 WIB. Mengenakan t-shirt putih dipadu celana panjang abu-abu, Ayin menyodorkan sebuah kursi plastik merah tepat di depan pintu kamar tahanannya. "Silakan duduk di sini ya. Beginilah keadaan di sini, duduk seenaknya saja. Apa kabar," katanya membuka pembicaraan. Saya jawab dengan nada agak pelan,"kabar baik." Saya masih belum percaya, kalau wanita yang saya kenal sejak sekitar lima tahun lalu tersebut harus melewati aktivitas kehidupannya dari balik jeruji besi.

Di kalangan jet-set di Jakarta, apalagi di Lampung, nama Ayin begitu tersohor. Selain punya hubungan khusus dengan konglomerat Sjamsul Nursalim, yang diduga ikut mengemplang duit Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Ayin memang sudah lebih dulu dikenal sukses dengan berbagai kegiatan bisnisnya. Dan kedekatannya dengan sejumlah petinggi negeri ini menjadi poin tersendiri sehingga membuat sosok yang selalu tampil modis itu kerap disegani kawan maupun lawan bisnis.

Namun, sejak awal Maret lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah telah menghancurkan reputasi wanita berperawakan kecil tersebut. Setelah KPK menggerebek praktik dugaan suap sejumlah 660 ribu dolar AS yang dilakukan Ayin terhadap jaksa Urip Tri Gunawan (salah seorang jaksa kasus BLBI yang menangani perkara Sjamsul Nursalim), nama Ayin bak virus yang harus dihindari. Sejumlah kalangan pejabat negara yang kerap berhubungan dengan Ayin mengaku tidak lagi mengenal sosok yang namanya sempat tercantum sebagai bendahara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut. "Kalau mereka tidak bersedia membantu meringankan persoalan saya, tidak masalah. Semua yang saya alami ini adalah risiko. Tapi janganlah mereka membuat saya menjadi sakit hati," paparnya ketika ditanya soal sejumlah pejabat yang kerap berhubungan dengan Ayin.

Apa yang membuat Ayin sakit hati? Menurutnya, pengingkaran terhadap sebuah persahabatan akan terus tercatat dan tidak mungkin bisa dilupakan. Karena, hal itu berarti pengkhianatan. Dia menyebutkan nama seorang pejabat tinggi negara di kawasan Senayan. "Asal Anda tahu, sebelum suaminya menjabat (Ayin menyebut nama sebuah lembaga tinggi negara) istrinya setiap pagi telepon saya. Ada saja yang dia butuhkan dari saya supaya suaminya bisa mendapatkan jabatan tersebut. Setelah saya dalam kesulitan, kok bisa-bisanya dia bilang tidak kenal saya dan berkomentar yang sangat menyakitkan soal diri saya. Seolah-olah dia itu manusia paling suci di negara ini," tandasnya.

Pengakuan Ayin ini, hanya satu dari sekian banyak contoh pejabat yang buang badan ketika dirinya ketiban sial. Sederet nama penting rupanya cukup banyak yang bersandar pada kekuatan logistik Ayin untuk memperlancar karier para pejabat tersebut. Cukup mencengangkan memang, hampir di tiap lembaga berpengaruh seperti Polri, Kejaksaan Agung, TNI, DPR dan sederet posisi penting lainnya, bahkan salah satu petinggi KPK pun ternyata punya hubungan yang khusus dengan Ayin. Lantas, kenapa Anda mendapatkan vonis yang maksimal? "Itu di luar kemampuan saya untuk menganalisanya," timpal Ayin.

Disinggung soal beredarnya foto-foto dirinya dengan sejumlah petinggi negara saat ini seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Sutanto, Ayin merasa hal itu sebagai suatu hal yang biasa. Kehadiran mereka, menurut Ayin, tentu atas undangan dirinya dan keluarga. Sebab, foto-foto tersebut diambil saat berlangsungnya acara resepsi pernikahan anaknya. Suatu kebanggan jika pejabat negara bisa hadir untuk mengucapkan doa restu kepada mempelai yang sedang berbahagia. "Apakah dengan foto-foto tersebut lantas bisa dikatakan saya menguasai mereka," tanya Ayin.

Sambil sesekali membenarkan posisi rambut yang terurai, tampak sekali wajahnya memendam perasaan kesal dan sedih atas kondisi yang dialami saat ini. Namun, Ayin merasa dirinya hanya sedang ketiban sial dan siap menempuh langkah hukum selanjutnya untuk membela diri dan mendapatkan keringanan hukuman. "Yang pasti, saya tidak pernah menggelapkan uang negara dan bukan juga seorang koruptor," tandasnya.

Setelah hampir tiga perempat jam mengunjungi sel Ayin, Indonesia Monitor juga berkesempatan berbincang dengan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanudin Abdullah. Jarak antara sel tempat penahanan Ayin dengan Burhan, hanya terpisah beberapa blok. Kala itu, Burhan tengah menerima kunjungan beberapa kerabatnya. Namun, mereka segera memohon diri ketika saya menghampiri insinyur lulusan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung tersebut. Mengenakan kemeja hitam lengan panjang dan bercelana jeans warna gelap Burhan yang sejak usai Shalat Jumat merasa lebih nyaman berada di luar kamar selnya.

"Waktu saya habis di sini sudah lima bulan untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Padahal, jika di luar (penjara) saya bisa berbuat lebih banyak untuk negeri ini. Jika saya harus menanggung ini (kasus aliran dana BI kepada DPR –red) seharusnya bisa dilihat secara utuh. Sebab, yang saya lakukan tidak ada untuk kepentingan pribadi ," kata lelaki asal Garut, Jawa Barat tersebut mencoba membuka pembicaraan.

Lain Ayin, lain pula Burhan. Jika Ayin memang tipikal pengusaha yang kerap berbicara segala hal berdasarkan persepsi untung-rugi, Burhan yang birokrat tulen justru menilai segala sesuatu berdasarkan kinerja. Dengan posisinya yang sudah sampai di puncak karier sebagai mantan Menteri Koordinator Perekonomian di penghujung pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan mantan Gubernur BI sekitar empat bulan lalu, pikirannya tetap tak bisa lepas dari kondisi bangsa yang menurutnya dalam keadaan tidak menentu. Pidato kenegaraan yang dibacakan Presiden SBY di hadapan anggota DPR menjelang hari kemerdekaan ke- 63 RI Agustus lalu, dinilainya hanya berbasis politik. Mantan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ini sepakat jika Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang disusun tim ekonomi SBY mencapai Rp 1.400 triliun tidak lebih dari sekadar jargon alias kampanye.

"Tidak berbasis kinerja dan tidak strategis. Bagaimana pencapaian-pencapaian kebijakan ekonomi tersebut dapat dilakukan jika tidak ada hal-hal yang menjadi skala prioritas. Kalau semua persoalan ekonomi rakyat menjadi prioritas, itu kan sudah bukan lagi pertimbangan ekonomi," paparnya.

Sesekali, Burhan melepas kaca matanya, mengusap dahi dan kedua matanya dengan ibu jari dan telunjuk. Kepada Indonesia Monitor Burhan merasa dirinya bisa berbuat lebih banyak dari sekadar bintang tanda jasa Mahaputra yang sempat diterimanya dari negara beberapa waktu lalu. Dia mengaku sempat kesal atas apa yang dialami saat ini karena sepertinya tidak sebanding dengan apa yang sempat dia sumbangkan buat negara.

"Tapi, saya memang harus belajar ikhlas di sini (penjara- red). Saya juga sampaikan kepada teman-teman di dalam tahanan bahwa Allah SWT menciptakan kehidupan di dunia ini memang untuk tidak fair. Sehingga, meskipun kita benar, pengadilan manusia bisa saja membalikkan diri kita menjadi orang yang paling bersalah. Namun, keadilan sesungguhnya akan datang nanti di Padang Makhsyar (akhirat- red). Sayangnya, di sana nanti tidak ada wartawan sehingga tidak bisa diberitakan siapa yang benar dan salah ha…ha…ha..," katanya menghibur diri.

Di singgung soal besan Presiden SBY, Aulia Pohan, yang sampai saat ini masih bebas menghirup udara segar di luar penjara, Burhan hanya menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya tanpa beban. Menurutnya, dalam perkara aliran dana BI kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, seolah-olah sudah di frame (batasi) bahwa persoalan ini akan berhenti sampai dirinya. Meski fakta-fakta persidangan menunjukkan sejumlah pejabat tinggi BI lainnya, termasuk Aulia, masuk dalam kategori yang paling bertanggung jawab dalam perkara tersebut, mereka tidak akan tersentuh.

"Pernah satu kali dalam pertemuan di Pengadilan Tipikor saat Pak Aulia menjadi saksi, dia katakan bahwa akan sekuat tenaga menghindar supaya tidak secara formal dinyatakan terlibat. Meskipun media dan fakta-fakta menyatakan dirinya ikut bersalah. Pendeknya, yang penting jangan sampai KPK menetapkan dia menjadi tersangka," ungkap Burhan.

Anda kecewa? "Kecewa atau tidak saya kira tidak penting lagi. Karena saya harus menempuh ini semua dan akan membuktikan bahwa secara hukum saya tidak bersalah. Bahwa saya harus bertanggung jawab, inilah yang sedang saya lakukan," tandasnya.

Lantas, saat ditanya apakah sebagai pejabat tinggi negara ketika belum menghuni penjara tidak melakukan lobi tingkat tinggi kepada presiden atau wakil presiden, Burhan terdiam sejenak. Dia lantas menceritakan sebuah kisah di hari Jumat, saat dirinya sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun belum dipenjara, Gubernur BI diundang sarapan oleh Presiden SBY untuk membicarakan dampak ekonomi akibat kenaikan harga minyak. Dalam pertemuan tersebut Boediono yang saat itu masih menjabat Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan Sri Mulyani serta Mensekab Sudi Silalahi juga ikut hadir. Dalam pertemuan tersebut, semua berjalan lancar meski di hati Burhan sedang berkecamuk persoalan nasibnya yang sedang berada di ujung tanduk KPK.

Pertemuan kurang lebih satu jam tersebut dinilai Presiden SBY sangat memuaskan. Dan akan dibawa dalam sidang kabinet paripurna usai agenda sarapan antara Presiden SBY dengan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Karena Burhan bukan anggota kabinet, tentu saja dia tidak ikut agenda tersebut. Saat bersalaman usai pertemuan, SBY seperti sedang tidak tahu apa yang sedang dialami koleganya tersebut. Dengan santai dan tawa sumringah SBY meminta supaya bisa diaturkan waktu bermain golf dengan Burhan karena sudah lama keduanya tidak jalan bareng. "Saya tidak tahu apakah presiden sedang bercanda atau serius," ujarnya menghela napas panjang.

Banyak hal lainnya yang sempat dibicarakan dengan Burhan. Namun, rasanya tidak pas jika harus dibuka semua kepada publik. Tepat pukul 15.00 WIB terdengar bunyi lonceng dari pos penjagaan menandakan waktu bezuk sudah selesai. Sejenak bibir Burhan terkatup dan untuk selanjutnya dia hanya berujar, "Tongkat estafet masa depan negeri ini sudah saatnya berada di tangan generasi Anda. Kami-kami ini sudah saatnya melepaskan diri. Dan saya sudah siap untuk itu dan memberikan dukungan sekuat tenaga dari belakang," katanya.(*)

Tidak ada komentar: