Rabu, 17 September 2008

Taktik Usang Politik Uang

Image










Biasanya, pagi hari jelang pencoblosan, kader-kader partai politik gemar melakukan serangan fajar ke rumah-rumah penduduk. Tujuannya, agar pemilik rumah yang didatangi kader parpol sudi mencoblos partai bersangkutan dengan imbalan materi.

Namun, jangan harap jurus seperti itu akan laku lagi dalam Pemilu 2009. Sebab, kini para pemilih tak lagi mempertimbangkan faktor imbalan materi dalam memilih satu parpol.

Imam (27 tahun), warga Cileduk, Tangerang, Banten, mengaku kapok memilih sebuah partai dengan imbalan uang Rp 50 ribu. “Ternyata, setelah partai itu menang, keadaan nggak juga berubah. Nyesel saya menjual suara dengan uang lima puluh ribu,” ujar Imam.

Imam tak sendirian. Setidaknya, masih banyak lagi rakyat yang tak ingin terjerat politik uang. Setidaknya, hal itu tergambar dalam survei yang digelar Reform Institute pada Juni-Juli 2008. Sebanyak 2.159 responden ditanya tentang pertimbangan mereka saat memilih partai politik


Hasilnya, sebanyak 25,8 persen responden menjawab memilih partai setelah mempertimbangkan programnya. Sementara, yang memilih partai karena pertimbangan mendapat imbalan materi hanya 1,0 persen responden.


Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay mengaku gembira dengan hasil survei tersebut. “Artinya, tingkat kesadaran masyarakat sudah semakin tinggi,” ujar Hadar kepada Indonesia Monitor, Sabtu (30/8).

Masalahnya, kata Hadar, selama ini masyarakat seringkali berpikir pragmatis. “Masyarakat kita masih sangat polos dan sederhana. Ketika sudah menerima uang dari salah satu partai atau elite maka mereka pasti akan memilih.”

Hal senada dikatakan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow. Menurut Jeirry, betul bahwa kesadaran politik rakyat sudah meningkat ketimbang pemilu-pemilu sebelumnya.

Namun, masyarakat yang menerima materi atau imbalan dari partai atau elite politik tetapi tidak akan memilih elite atau partai politik yang bersangkutan juga ada.
“Misalnya, ada lima calon atau partai yang memberinya materi, maka semuanya akan diterima, tapi tidak menjamin masyarakat akan memilih partai atau calon tersebut,” ujar Jeirry.

Ke depan, Jeirry berharap pengaruh uang dalam menentukan pilihan semakin kecil. “Masyarakat kita memang sangat pragmatis tapi juga sangat menginginkan perubahan. Mereka tentunya ingin memilih partai atau calon sesuai dengan hatinya. Dengan harapan akan terjadi perubahan lebih baik,” ujarnya.

Yang terpenting, perubahan perilaku elite politiklah yang sebenarnya diharapkan. Jangan sampai mereka terus menganggap suara rakyat bisa dibeli dengan uang. Kalau itu yang terjadi, para elite politik sama saja telah menghina rakyat sendiri.(Indonesia Monitor)

1 komentar:

Francisca Sestri mengatakan...

Kuncinya 10 tahun reformasi bukanya baik, malah amburadul. Sepertinya uji coba sistem politik demokrasi seluasluasnya tdk menguntungkan. Maka perlu ke UUD 45 asli, tetapi kebebasan berpendapat tetap dipertahankan,presiden seumur hidup di revisi. Apakah Rusi dan Singapore tdk semi terpimpin? namun tdk ada yang kelaparan.