Rabu, 29 Oktober 2008


Soetrisno Bachir (SB) memang masih malu-malu kucing menyatakan maju ke ajang Pilpres 2009. Namun, iklan, spanduk, dan baliho SB ada di mana-mana. Di spanduk dan baliho tersebut, wajah SB lebih dominan ketimbang logo Partai Amanat Nasional (PAN). Idealnya, seiring maraknya iklan, spanduk, dan baliho bergambar SB, popularitas dan tingkat keterpilihan (elektabilitas) terhadap juragan batik itu semakin meningkat. Tetapi, hasil pollingberbicara lain.

Penerus Amien Rais itu belum juga mampu menyodok papan tengah, apalagi papan atas capres yang akan dipilih rakyat. Hal itu terlihat di polling yang dilakukan Lembaga Survei Nasional (LSN) pada 20-27 September 2008. Sebanyak 400 responden berusia minimal 17 tahun dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan secara sistematis (systematic random sampling) dari buku telepon terbaru.

Mereka berdomisili di 15 kota besar di seluruh Indonesia (Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Mataram, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Manado, Ambon dan Jayapura). Nirpencuplikan (sampling error) lebih kurang 4,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil polling ini tentu tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat Indonesia.

Berdasarkan polling tersebut, pemilik slogan “Hidup Adalah Perbuatan” itu hanya dipilih oleh 0,8 persen responden dan harus puas berada di posisi ke-12. SB bahkan harus mengakui ketangguhan mantan Ketua Umum PAN Amien Rais yang berada di posisi ketujuh dengan dukungan 2,0 persen responden. Padahal, iklan SB lebih disukai publik ketimbang iklan Amien.

Setali tiga uang dengan SB, Rizal Mallarangeng yang dikenal lewat ikon RM09 juga tak mampu berbicara banyak di polling. Rizal berada di posisi ke-13 dengan tingkat elektabilitas sebanyak 0,5 persen. “Message (pesan) yang disampaikan Soetrisno Bachir dan Rizal Mallarangeng di iklan kurang mengena di hati dan pikiran publik,” ujar Direktur Eksekutif LSN Umar S Bakry kepada Indonesia Monitor, Kamis (9/10).

Kata Umar lagi, apa yang dialami SB dan Rizal berbeda dengan tingkat elektabilitas Prabowo Subianto yang berada di posisi ketiga dengan 14,2 persen dukungan responden. Menurut Umar, iklan Prabowo sangat manjur.

Sebanyak 79,9 persen publik mengaku suka terhadap iklan Prabowo yang mengandung pesan-pesan simpatik mewakili masyarakat petani, nelayan dan pedagang pasar tradisional. Sementara, yang menyukai iklan SB sebanyak 44,3 persen, SBY (44,0), Wiranto (39,4), Rizal Mallarangeng (31,3), Jusuf Kalla (24,6), Amien Rais (19,8), dan Yusril Ihza Mahendra (16,8). Orang dekat SB, Viva Yoga Mauladi mengatakan, survei itu sifatnya dinamis. Kata Yoga, dia tak heran popularitas dan elektabilitas SB kalah dari Amien Rais. “Karena Pak Amien itu kan rekam jejaknya sudah sangat panjang. SB kan serius di politik sejak menjabat sebagai Ketua Umum PAN,” ujar Yoga kepada Indonesia Monitor, Kamis (9/10). Wasekjen PAN itu menambahkan, partainya tidak berpatokan pada satu lembaga, karena lembaga survei satu dengan yang lainnya berbeda. “Survei itu merupakan vitamin buat PAN, karena penting buat mengukur siapa diri kita. Tapi jangan lupa survei itu dinamis dan selalu berubah,” ujarnya.(*)

Jumat, 10 Oktober 2008

Presidential contenders get professional touch

Straits Times - June 4, 2004

Devi Asmarani, Jakarta -- Professionals, not just politicians, are running the show for the election.

Presidential contenders have been relying on their team of political strategists, public relations consultants and advertising experts ahead of the July 5 election.

The candidates set up think-tanks for campaign strategies and seek professional advice to polish their public image. Pundits help formulate their platforms and senior journalists are hired to run their media centres.

The first-ever direct presidential election in Indonesia has prompted the five contenders to employ modern campaigning approaches to boost their popularity and win the ground.

Some campaign teams have sought help from more experienced ones abroad, collecting campaign formats of successful presidential candidates in countries such as the United States and the Philippines.

But of all the contenders, National Mandate Party chairman Amien Rais can proudly claim to be the pioneer in this new battle for the presidency.

Unlike others, who only began to seriously market themselves for the top post early this year, Dr Amien started the groundwork for the contest in 2001, when he established the Amien Rais Centre think-tank.

The centre at the time started formulating a design format for his 2004 presidential campaign, knowing that the allotted official 30-day campaigning session this month would not be sufficient to promote the National Assembly Speaker across the sprawling archipelago.

The centre's chairman, Mr Jeffrey Geovanie, told The Straits Times: "First thing we did was to make a standard portrait of [Dr] Amien so that everyone across the country will instantly recognise him when they see his picture." At the centre's suggestion, Dr Amien began making personal trips to various countries to meet influential figures there.

"We want him to actively clarify to the international community that he was not a fundamentalist as he had been misrepresented in the foreign media," Mr Geovanie said.

The institution monitors media and public perception on Dr Amien, and makes sure his public statements are consistent and centrist. He also started making overseas trips two years ago to participate in various cultural programmes.

It was also two years ago when he began what later become his trademark -- visiting wet markets. It was a move that incumbent President Megawati Sukarnoputri has seemingly emulated this week.

Mr Geovanie is not a member of Dr Amien's official campaigning team, which was established late last month, but some members of the Amien Rais Centre have joined the campaigning team.

Dr Amien's campaigning team is made up of political scientists Rizal Sukma and Irman Lanti, as well as renowned economists Didiek Rachbini and Dradjat Wibowo.

Similarly, the incumbent President's think-tank, the Mega Centre, comprises academics such as Mr Cornelis Ley, her long-time political adviser, historian Hermawan Sulistyo and economist Sri Adiningsih, as well as several Cabinet ministers.

The Mega Centre monitors public opinion polls, advises Ms Megawati on campaign strategies and formulates political and economic platforms.

Leading contender Susilo Bambang Yudhoyono has his own SBY Information Centre. Named after his initials, the centre groups people from various backgrounds, such as law and communication. Former journalist Syahrial Nasution is one of them.

"It is basically an SBY fan club and we are all volunteers because of our personal relations with him," Mr Syahrial, the centre's managing executive, told The Straits Times.

The Wiranto camp has also hired senior journalists to run its Wiranto Media Centre, which is one of the most efficient of all the think-tanks. The centre has been quick in sending out information and organising press briefings.

Political campaign management may have yet to become an industry in Indonesia, as in other more developed democracies, but Mr Geovanie said it would soon become a norm as the country adopts a new set of electoral systems.

"Right now, professionals join the presidential contenders' team out of personal sympathy or political connection. But in the future, when even governors or regents will be elected directly by the people, it is natural that there will be demand for professional services for campaign management," he said.

Strategists: Men behind candidates

Susilo Bambang Yudhoyono

  • Sukosudarso: PDI-P politician who crossed over to support Mr Bambang's bid.
  • Rachmat Witoelar: A Golkar founder, former ambassador to Russia.
  • Joyo Winoto: Former official at the National Development Planning Agency.

Wiranto

  • Fachrul Razi and Suaidi Marasabessy: Retired generals.
  • Rizal Ramly: Economic czar in Abdurrahman Wahid's Cabinet.

Megawati Sukarnoputri

  • Cornelis Ley: Political strategist.
  • Sri Adiningsih and Anggito Abimanyu: Economic advisers.

Amien Rais

  • Rizal Sukma: Political strategist.
  • Dradjat Wibowo and Didiek Rahbini: Economic advisers.

Hamzah Haz

  • La Ode Kamalludin: Adviser to Vice-President Hamzah Haz.(*)

Suko Sudarso: Tidak Logis Saya Bertemu Adelin Lis di Cikeas

Sabtu, 22/12/2007 19:31 WIB

Luhur Hertanto - detikNews

Jakarta
- Suko Sudarso membantah tudingan Gus Dur bahwa ia pernah menerima Adelin Lis di kediaman pribadi Presiden SBY. Ia bahkan sama sekali tidak mengenal bekas terdakwa kasus pembalakan liar dan buronan kasus pencucian uang itu.

Bantahan di atas disampaikan Syahrial Nasution --anak angkat Suko Sudarso-- kepada detikcom dalam pembicaraan telepon, Sabtu (22/12/2007) petang.

"Logikanya saja, apakah mungkin saya bisa meminjam rumah Pak SBY yang presiden itu? Saya sendiri tidak mengenal Adelin Lis, kok bisa-bisanya ada pertemuan dengan dia. Jadi secara logika tidak mungkin saya mengadakan pertemuan dengan Adelin Lis, apa lagi pertemuannya di Cikeas," ujar Syahrial mengutip pernyataan Suko yang dipercayakan padanya untuk disampaikan menjawab konfirmasi wartawan.

Syahrial mengakui bahwa ia dan Suko Sudarso pernah aktif dalam tim sukses SBY saat pilpres 2004. Bersama Choirul Anam (eks. Ketua DPW PKB Jatim, kini Ketum DPP PKNU) dan Syaifulloh Yusuf (mantan Sekjen PKB, kini komisaris BRI), tugas mereka berempat kala itu mengadakan pendekatan ke para kyai khos di daerah Tapal Kuda (Banyuwangi, Situbondo dan sekitar) yang merupakan kantong NU.

Menurut Syahrial hubungan politik antara Suko Sudarso dengan SBY tidak berlanjut ke jenjang yang lebih jauh. Meski demikian hubungan secara pribadi antara keduanya tetap berlangsung baik.

"Hubungan pribadi masih baik. Tetapi untuk urusan politik, masing-masing punya
pilihan sendiri," ujarnya tanpa bersedia menjelaskan penyebab putusnya kongsi Suko Sudarso-SBY.

Nama Suko Sudarso mulai muncul di media massa terkait keterlibatannya dalam korupsi kasus Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bulog (Yanatera) pada 2000 silam. Kasus yang kemudia di kenal dengan sebutan Buloggate itulah yang menggulingkan Gus Dur dari kursi RI 1 pada 2001.
(lh/bal)

Pembantu Lama Juga Berpikir Untuk Tinggalkan SBY

REAKSI tak puas juga diperlihatkan kelompok yang selama ini mendampingi SBY. Kita sebut mereka dengan istilah kelompok pembantu lama. Seperti PKS, mereka juga mempertimbangkan akan mengundurkan diri dari Cikeas. Pengunduran diri itu akan dilakukan dalam waktu dekat.

“Kami khawatir kabinet yang akan terbentuk nanti tidak akan mencerminkan semangat perubahan yang dinanti-nanti rakyat. Mengapa klik yang selama ini menjadi masalah bagi bangsa kita sampai dipertimbangkan. Dalam beberapa hari ini kami akan pamit,” kata Ketua Media Center SBY-JK, Syahrial Nasution, tadi malam.

Menurut Syahrial, anggota kelompok lainnya yang juga tengah mempertimbangkan langkah pengunduran diri adalah Suko Sudarso, Rachmat Witolear, M. Djali Yusuf dan Agus Tagor.

Syahrial bercerita, Jumat malam lalu sekitar pukul 23.00 WIB, dirinya dan Suko bertemu dengan SBY. Dalam pertemuan itu, SBY kembali menegaskan dirinya yang akan menentukan menteri di kabinet. “Saya tidak bisa didikte siapapun. Soal nama dan posisi adalah keputusan presiden,” kata SBY saat itu seperti ditirukan Syahrial.

“Meski SBY punya kemampuan di atas rata-rata, toh sebagai manusia tetap bisa salah. Oleh karena itu SBY perlu forum dimana orang-orang yang tidak punya pamrih dan selama ini dekat dengan dia, seperti Suko Sudarso dan Rachmat Witoelar, diajak bicara,” ujar Syahrial lagi.

Dari dalam Cikeas terdengar kabar betapa panasnya suhu politik sepanjang hari kemarin. Kehadiran bekas Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang pernah ikut Konvensi Capres Golkar awal tahun lalu, Aburizal Bakrie dan pengusaha Rachmat Gobel mengagetkan sementara kalangan di Cikeas.

Mereka menduga, keputusan SBY untuk mempertimbangkan Aburizal merupakan bagian dari manuver politik yang dilancarkan “klik Golkar” di sekitar SBY.

“Skenario ini memang disusun oleh mereka untuk menguasai pemerintahan dan parlemen. Setelah ini mereka akan mendudukkan orang mereka, yang juga pernah ikut Konvensi Golkar sebagai Ketua Umum Golkar dalam Munas mendatang. Ini skenario jangka panjang untuk menguasai parlemen, Golkar dan berhadapan dengan SBY,” kata sumber lain di Cikeas.

Seorang anggota Paspampres juga disebutkan kaget saat sebuah mobil berhenti di depan kediaman SBY. Sebab, yang keluar dari mobil adalah seorang pengusaha yang selama ini, menurut si Paspampres, menjelang Pilpres 2004 sering nongkrong di Teuku Umar, kediaman Megawati. “Kami juga punya banyak bukti bahwa dia (pengusaha itu, red) dekat dengan Teuku Umar,” ujar sumber itu lagi.

Bekas Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA) Mayjen (pur) Syamsir Siregar yang juga dikenal sebagai pembantu lama SBY, tak mau berkomentar panjang soal perasaannya menyusul pemanggilan calon menteri SBY. Beberapa hari lalu Syamsir mengatakan bahwa kini banyak maling yang merapat ke SBY. “Hubungi saja teman yang lain. Saya tak bisa berkomentar,” katanya saat dihubungi tadi malam.

Dari luar pagar Cikeas, anggota Fraksi PAN di DPR Dradjad H Wibowo mengatakan, langkah SBY mengangkat ekonom Mari Pangestu sebagai menteri merupakan kesalahan besar. Dia menyebut paham neoklasik yang diyakini Mari sangat berbahaya bagi pembangunan Indonesia. Paham neoklasik ini percaya pada liberalisasi dan sangat pro pada terapi ekonomi Internasional Monetary Fund (IMF), yang terbukti malah memperburuk krisis ekonomi.

Aliran neoklasik juga sangat percaya pada privatisasi, dan selalu mengambil keputusan mencabut subsidi pada rakyat bila pemerintah mengalami kesulitan fiskal.

“Industri yang tidak bisa bersaing seperti PT Dirgantara cenderung akan ditutup atau diprivatisasi,” ekonom Institute for Development on Economics and Finance (Indef) ini saat dihubungi tadi malam.

Dradjad juga mengeluarkan ancaman. Katanya, jika Mari sampai ditunjuk sebagai menteri ekonomi, dirinya dan beberapa anggota DPR akan menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang akan dibuat ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) itu. GUH/IMI Rakyat Merdeka, 17 Oktober 2004