Jumat, 18 Juli 2008

Ayo, Kembali ke Akal Sehat

Oleh: Syahrial Nasution*

Syahrial_nasution@yahoo.com

Keputusan DPR menyetujui pelaksanaan hak angket untuk menyelidiki kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) harus berjalan serius dan transparan. Bukan dagelan apalagi jadi bahan bancakan partai politik. Bongkar semua pihak yang terlibat kegiatan penyengsaraan rakyat tersebut. Bukan hanya pada tingkat pelaksana, termasuk para pejabat dan penjahat yang terlibat. Temukan gembongnya, penjarakan!

Sebab, inilah momentum penting bagi bangsa Indonesia supaya rakyat bisa keluar dari kondisi yang semrawut tatanan kehidupan sosial dan ekonominya. Tidak ada alasan bagi pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk tidak taat terhadap Undang Undang (UU) dengan dilaksanakannya hak angket yang dimiliki Dewan. Karena, kebijakan subsidi BBM bukan dilahirkan oleh SBY.

Sehingga, tidak ada pula alasan bagi pemerintahan SBY melindungi segenap mafia yang terang-terangan mengisap darah rakyat dengan cara memanfaatkan jalur distribusi BBM untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok. Negeri kaya minyak kok seumur-umur rakyatnya harus mengantre minyak. Dari jaman sebelum kemerdekaan sampai hampir 63 tahun akan merdeka. Duh… Gusti!

Kalau saja para founding father negeri ini masih dapat kesempatan memohon dari alam kubur sana, barangkali mereka akan minta untuk tidak pernah dilahirkan. Sebab, pengorbanan nyawa dan air mata sudah tak ada artinya. Bagaimana mungkin pengorbanan yang dilakukan terhadap negara dimana banyak keluarga tercerai-berai, isteri-isteri kehilangan suami, anak-anak menjadi yatim, terpisah dari orang tua dan saudara demi satu kata MERDEKA, saat ini bernasib tragis. Ibu pertiwi tidak saja hanya sedang menangis seperti lagu yang sering didendangkan, tapi meronta karena tak bisa berbuat apa-apa.

Sejarah menuliskan bagaimana Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir dan Bung… Bung… yang tidak tersebut dalam catatan, telah menggariskan cetak biru negara ini sejak satu abad lampau. Sebuah cita-cita telah disematkan di sanubari terdalam para pendiri bangsa yakni, Menuju Masyarakat yang Adil dan Makmur. Tapi, apa gerangan yang terjadi? Pengorbanan dan cita-cita itu hancur lebur tak tentu arah.

Pemerintahan yang sudah beberapa kali silih berganti lebih banyak bicara soal kekuasaan dan kepuasan. Entah kemana gerangan cita-cita luhur itu mencari persinggahan. Rakyat sakit bukan cuma fisik, tapi juga jiwa. Sebagai akibat dari ketidak mapanan dan kerapuhan kondisi sosial-ekonomi yang tak kunjung memadai. Sementara para pemimpin dan elite politik berasyik masyuk dengan permainan sendiri, lagi-lagi demi pribadi dan kelompok.

Krisis BBM –krisis energi– yang terus terjadi tanpa kunjung menemukan solusi hendaknya menjadi cermin bagi kita bahwa perjuangan idealisme, tidak bisa dititipkan. Sama halnya dengan orang-orang tua kita dulu yang tak pernah merasa diperintah untuk memanggul bambu runcing. Sejak penguasa Orde Baru memasuki sistem pemerintahan Republik ini, rakyat tetap salah urus. Begitu pula ketika Habibie, pemerintahan Abdurrahman Wahid, era Megawati Soekarnoputri hingga Presiden SBY, tak kunjung mampu menjadi bersemayamnya sebuah cita-cita: menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Oleh karena itu, rakyat harus dibukakan hati dan pikirannya supaya bisa kembali berpikir jernih bahwa kesejahteraan tidak bisa hanya mengandalkan pemimpin yang senantiasa tebar pesona. Kemakmuran tidak mungkin digantungkan hanya pada keturunan seorang pemimpin besar. Dan keadilan tidak mungkin diraih lewat orang-orang yang hanya mampu menciptakan mimpi. Negara ini hanya akan maju oleh badan dan hati kita, sesuatu yang naif namun mengurai fakta. Kecuali, para pemimpin dan elite politik yang ada saat ini memang sengaja ingin rakyatnya terus dalam kondisi sakit.

Rakyat tengah menantikan Hak Angket DPR untuk menyelidiki dampak kenaikan harga BBM akan mampu mengubah nasib. Akan lahirnya kebijakan terhadap energi yang pro terhadap masa depan bangsa Indonesia. Bukan lahirnya kebijakan-kebijakan yang ngawur dan menguntungkan segelintir orang. Tunduk terhadap kepentingan perusahaan asing yang berpuluh tahun mengeksploitasi kekayaan alam bumi pertiwi. Dan tidak melakukan tindakan putus asa semisal proyek ‘Blue Energy’ untuk mengubah air menjadi minyak seperti yang didukung Presiden SBY.

Kita tidak sedang bermain sulap atau butuh tukang sihir untuk memperbaiki Ibu Pertiwi yang dirundung sedih ini. Yang kita perlukan adalah tekad dan langkah nyata. Untuk itulah Indonesia Monitor menyerukan sebuah Dekrit untuk mengatasi krisis dan kebuntuan yang dialami sebagian besar rakyat di negeri ini, ayo…!!!

*) Penulis adalah wartawan senior. Tulisan ini diterbitkan untuk tajuk Tabloid Indonesia Monitor edisi 1 Tahun I/2-8 Juli 2008


Tidak ada komentar: